Mukaddimah
Hijab adalah salah satu masalah yang
tidak asing dalam kehidupan manusia dan merupakan masalah pokok yang harus
diperhatikan manusia selain kebutuhan primer seperti sandang, pangan dan papan.
Ketika manusia pertama yaitu Nabi Adam as dan Hawa as diciptakan oleh Allah swt[1]
badan atau raga keduanya dalam keadaan berhijab atau mengenakan penutup aurat.
Ungkapan kesempurnaan penciptaan Nabi Adam as dan Hawa as adalah berbarengan
dengan kondisi mereka yang berpakaian/berhijab atau dengan kata lain
hijab/pakaian merupakan nikmat Allah untuk manusia. Dan sebaliknya, ketelanjangan
(di depan non muhrim) adalah tipu daya setan dan akan dibalas dengan azab Allah
di hari kemudian.
Menyimak kisah hijab di sepanjang
sejarah manusia akan mengantarkan kita kepada salah satu poin penting yang
layak untuk direnungkan lebih dalam sehingga kita dapat melihat hikmah di balik
hukum hijab yang telah Allah tetapkan dan kita mampu menjadi hamba sejati Tuhan
yang Maha Esa, pencipta dan pemilik mutlak manusia serta sekalian alam dan
tempat kembali yang abadi bagi manusia bahkan semua makhluk.[2]
Setiap muslim hendaknya hendaklah
senantiasa mawas diri dan berharap cemas tentang bagaimana akhir kehidupannya
kelak. Hendaknya ia selalu menghisab segala sesuatu yang telah dilakukannya
berkaitan dengan apa-apa yang telah diperintahkan dan dilarang oleh Allah swt.
Hal ini akan berguna dalam upaya memperbaiki prilakunya sehingga prilakunya
sesuai dengan apa yang diridhai oleh Allah swt. Dengan demikian, manusia dapat
mengurangi kecemasan dan meningkatkan harapannya bahwa ia akan masuk dalam
golongan muflihuun (orang-orang yang beruntung).[3]
Jika tidak demikian, maka manusia akan merugi.[4]
Dalam dunia Islam, irfan adalah
sebuah cabang ilmu yang memiliki sejarah cukup panjang. Kandungan irfan pada
hakikatnya adalah perjalanan tarbiah Islami yang dilakukan oleh Rasulullah saww
dalam membimbing umat Islam menuju Allah swt.
Berbicara tentang hijab dalam
pandangan irfan pada dasarnya membicarakan hijab dalam pandangan Islam karena
hijab merupakan salah satu bentuk tarbiah Islam. Tarbiah Islam tanpa dibarengi
irfan akan kehilangan esensinya sedangkan irfan tanpa dibarengi istidlal logis
dan amal islami akan kehilangan kendali, akan jatuh terperosok dan jauh dari
esensi Islam.
Dalam sejarah, istilah irfan dan
tasawwuf mulai muncul pada akhir abad kedua Hijriah. Pada abad ketiga, irfan
dan tasawwuf mulai menampakkan wajah barunya.[5]
Di sini kita tidak akan membahas kemunculan irfan sebagai cabang ilmu
tersendiri secara kronologis dan bagaimana irfan terbagi menjadi irfan teoritis
dan irfan praktis tetapi kita akan membahas sisi irfani hijab sebagai salah
satu aturan syariat Islam. Namun sebelum memasuki pembahasan, kita terlebih
dahulu akan membahas beberapa topik di bawah ini:
- Apakah hijab?
- Bagaimanakah pensyariatan hijab dalam Islam?
- Bagaimanakah hijab yang diperintahkan oleh Allah swt sebagai sebuah taklif syar’i yang wajib ditaati pemeluk agama Islam?
Hijab
Pemahaman keirfanan dalam berbagai
perihal ajaran agama yang kurang membudaya, atau paling tidak, kurang mendalam
dan merata di kalangan sebagian besar umat Islam membuat umat kehilangan ruh
ajaran agamanya. Sebagai contoh: shalat. Banyak kaum muslim yang melakukan
shalat tanpa memperhatikan muatan maknawi shalat[6]
sehingga shalat mereka mirip dengan unggas yang sedang mematuk biji-bijian yang
berserakan di atas sajadah, hampa bahkan melelahkan. Hingga tidak jarang
anak-anak berusaha meninggalkan shalat bahkan lebih jauh lagi berlari tunggang
langgang menjauhi Islam dan memasuki agama selundupan yang akan menggiringnya
ke dalam jurang kesesatan. Atau bisa saja ia lari dari semua agama sehingga ia
bisa hidup bebas layaknya binatang dan bisa memenuhi segala hawa nafsunya,
menerkam mangsanya di mana saja dan kapan saja demi memenuhi berbagai kebutuhan
hewaninya yang bersifat temporal.[7]
Shalat adalah salah satu perkara
Islam yang karena tidak ditunaikan sesuai dengan keinginan Allah swt, umat
Islam tidak dapat meraih berbagai nikmat besar yang ada di dalam shalat dan
pada akhirnya hasil akhir dari shalat tidak bisa diraih. Lebih tragis lagi,
sebagian kalangan sengaja meninggalkan shalat dan mereka tidak sadar bahwa
dengan meninggalkan shalat mereka telah menyiapkan dirinya sebagai bahan bakar
api neraka yang apinya tidak hanya menyala di hari kiamat saja tetapi telah
menyala dalam kehidupan dunia sedang mereka akan tersulut dalam api tersebut
dan terbakarlah segala nilai kemanusiaannya.[8]
Sungguh sayang, shalat yang
ditetapkan oleh Islam sebagai salah satu anak tangga peribadatan kepada Sang
Maha Sempurna, yang semestinya membuat kita rindu untuk menunaikannya dan kita
dirikan dengan penuh rasa suka, tidak meninggalkan kelezatan sukma sedikitpun
sehingga kita bisa mengarungi cakrawala makrifat ilahi yang pada akhirnya akan
menciptakan semangat dan tekad untuk menjadi anggota umat terbaik, penegak amar
ma’ruf, pencegah kemungkaran dan penyebar rahmat dan penabur benih kedamaian
dan keadilan di seluruh dunia.[9]
Jika shalat telah dilakukan sesuai dengan keinginan Allah swt, jangankan
meninggalkannya, terlambat menunaikannya saja mampu membuat hati menjadi
gemetar dan risau. Tubuh dan ruh akan terhuyung-huyung untuk segera merintih
atas kelalaian dirinya, hati dan mulutnya akan meraung memanggil-manggil
Tuhannya.[10]
“Wahai Tuhanku! Wahai Tuhannya Ashabul Kahfi! Wahai Tuhannya Ashabul-Kisa’ Fathimatuzzahra
wa abiha wa ba’liha wa siril mustaudaufiha alahimissalam. Hamba-Mu yang
hina, rendah, miskin, bodoh dan pembangkang ini, selalu lalai dan tertipu oleh
fenomena rapuh selain-Mu. Tetapi kerinduanku akan diri-Mu yang memiliki segala
kesempurnaan menjadikan diri ini selalu terkesima dan gembira menjalani dan
menekuni titah dan perintah-Mu. Tetapi saat itu juga kemampuan dan kesadaranku
lumpuh. Aku hanya tertegun dan batinku hanya mampu menyebutkan beberapa nama
dari nama-nama agung-Mu. Ya qudduus, ya dzal-jalaali wal-ikraam, ya
muqalibal-quluub wal abshaar, tsabbit qalbį alaa diįnik wa tho’atik. Allahu
Akbar…”
Demikianlah contoh kondisi jiwa
seorang muslim yang terpaut pada makna spiritual sholat. Jiwa yang dipenuhi
makrifat tentang titah dan perintah Tuhannya akan memiliki ruh semacam itu.
Kondisi yang sama juga akan dirasakan berkaitan dengan perintah agama lainnya,
misalnya saja hijab. Kondisi jiwa yang memiliki kepekaan spritual atau makrifat
hakiki tentang Tuhan, tugas dan akibat dari segala prilaku disebut dengan
kondisi irfani jiwa manusia.
Perlu diperhatikan bahwa setiap
elemen ajaran Islam yang ada dalam tiga cabang besar akidah, akhlak dan fiqih
harus memuat nilai-nilai irfan agar dapat dicapai nilai tertinggi dalam tataran
prakteknya. Artinya, setiap muslim harus mengenal dan paham tentang kedalaman
muatan maknawi serta bekas-bekas yang terbias di dalam setiap ajaran Islam yang
di dalam irfan disebut dengan mukasyafah, musyahadah dan pengindraan batin.
Seorang muslim semestinya mampu mencapai kedudukan sebagai seorang arif yang
melaksanakan ibadahnya atas dasar cinta dan pesona Sang Jalal wa Jamal, ilahi
rabbil ‘alamiin. Kalau seorang muslim tidak mampu mencapai kedudukan tersebut
maka prilakunya akan sesuai dengan kondisi jiwa yang dimilikinya ketika
melaksanakan ajaran Islam. Oleh karena itu, kita dapat melihat posisi kita di
sisi Allah swt melalui kondisi jiwa kita sendiri.
Setiap ajaran Islam seperti perintah
mendirikan sholat dan puasa, membayar zakat dan khumus, menunaikan ibadah haji,
berhijab, jihad fi sabillillah, mempertahankan agama, harta dan kehormatan,
amar ma’ruf dan nahyi mungkar, tawalli dan tabarri, menuntut ilmu agama tak ubahnya
seperti anak-anak tangga yang jika dinaiki satu persatu dengan tepat akan
menghantarkan seseorang pada peringkat spritual berikutnya yang lebih tinggi
hingga mencapai puncak ketinggian maknawi yaitu berada di sisi Allah swt yang
memiliki segala kesempurnaan.
Sebagian manusia, seperti para
Makshumin as, mendapatkan ketinggian maknawi ini sebagai amugrah langsung dari
Allah swt. Anugrah ini memang layak dimiliki oleh beliau-beliau, mengingat
tugas berat dan suci yang berada di pundak mereka. Sedangkan manusia lainnya
harus mengikuti jejak mereka sehingga dapat dimasukkan dalam golongan
orang-orang yang mentaati perintah Allah swt. Manusia juga harus mengenal
hakikat dirinya karena dengan mengenal dirinya ia akan mengenal Tuhannya. Dari
sinilah ia dapat memulai kehidupan irfaninya sampai ia dapat masuk dalam
kelompok urafa dan arif rabbani.[11]
Irfan
Kata irfan berasal dari bahasa Arab عِرفان (pengetahuan
yang banyak) yang merupakan sifat musyabbahah berwazan fi’laan(فِعلان) [12] dan memiliki arti yang sama dengan
kata ilmu (العلم).[13]
Lafaz عرف memiliki 27 buah mustaqat (turunan kata) dan telah disebutkan
sebanyak 71 kali di dalam al-Qur’an.[14]
Sedangkan arif (jamaknya adalah urafaa) adalah isim faa’il dari kata kerja
arafa.
Kata irfan sebanding dengan kata
mystic dan metodenya disebut dengan mystisism/mistisisme. Kata mystic berasal
dari bahasa Yunani yaitu mistikos yang berarti perkara yang tersembunyi sedang
dalam istilah berarti hubungan langsung pribadi dengan Tuhan alam semesta
melalui jalan syuhudi/penginderaan dan pengalaman spiritual batin atau melalui
jalan lain yang dapat memberikan hasil. Dengan kata lain, irfan adalah suatu
jalan berupa kepercayaan akan adanya kemungkinan untuk mencapai hakikat sesuatu
melalaui ilmu hudhuri (bersatunya sang aqil dengan ma’qul). Secara praktis,
irfan dapat diibaratkan sebagai peribadatan, mujahidah atau kemauan keras untuk
menjalani kezuhudan, latihan menyucikan diri dari segala kotoran atau dosa yang
ada dan mengarahkan diri kepada alam batin.[15]
Mungkin sulit bagi kita untuk
mengetahui kapan istilah irfan mulai digunakan di kalangan ulama Islam,[16]
tetapi dengan memperhatikan pendapat Junaid Baghdadi (wafat thn. 298 Hijriah)
yang menyatakan bahwa kata irfan pernah digunakan sebelumnya, maka dapat
diambil kesimpulan bahwa kata irfan mulai digunakan pada abad ketiga hijriah.
Pada mulanya, mafhum irfan, ibadah
dan zuhud belum mengalami perbedaan makna. Namun secara perlahan-lahan, terjadi
perbedaan makna antara ketiga kata ini. Setiap kata arif, abid dan zahid
memiliki makna khusus dan tersendiri. Berkaitan dengan perbedaan antara ketiga
kata ini, dalam kitabnya Isyarat, Syaikh Ra’is Abu Ali Sina berkata:
“Zahid adalah istilah khusus bagi orang yang menghindari dunia dan kelezatan-kelezatannya.
Orang yang menjaga dan selalu mawas diri dalam menekuni amal shaleh seperti
sholat, puasa dan lainnya disebut abid. Sedangkan orang yang berusaha keras dan
mengerahkan segala kemampuan dan pikirannya untuk menyucikan diri dan selalu berlindung
pada kebenaran disebut arif. Namun ketiga istilah ini terkadang dapat saling
menyatu.” Dengan demikian, makna irfan telah berubah seiring dengan perjalanan
waktu. Terkadang irfan memiliki makna tersendiri dan terkadang semakna dengan
tasawuf.
Harus diperhatikan bahwa tasawuf
merupakan salah satu mishdaq dan cabang dari irfan, bukan keseluruhan irfan.
Irfan dengan makna umumnya mempunyai kesesuaian makna dengan seluruh makna
agama dan mazhab yang ada di dunia, baik kecil maupun besar, yang memiliki
bentuk beraneka ragam. Bahkan para penyembah Totem pun memiliki rahasia dalam
kepercayaannya yang untuk meraihnya mereka harus menempuh jalan rohani. Mereka
yakin bahwa alam memiliki hubungan dengan Totem sehingga mereka berusaha untuk
menyesuaikan diri dengannya. Dalam tafakkur mereka, dapat dilihat asas-asas
irfan di dalamnya. Demikian juga dalam agama-agama kuno India dan Iran, dalam
agama Kristen dan Islam, dapat disaksikan hakikat irfan di dalamnya. Bahkan
dalam agama Yahudi sekalipun—yang memiliki akidah paling berbeda tentang Tuhan
dan memiliki dendam kesumat terhadap manusia—tidak kosong dari hakikat irfani.
Hal ini dapat dilihat dalam kitab suci mereka Mazamir Daud, Ghazal Sulaiman
serta ungkapan–ungkapan indah mereka yang berasal dari syuhud batin dan jiwa
manusia dalam mencari dan mencintai Tuhan.[17]
Jika kita katakan bahwa irfan
bukanlah sinonim dari kata tasawuf maka ini berarti bahwa irfan mempunyai arti
lebih tinggi dan luas dari kata tasawuf. Tasawuf adalah satu cara dan jalan
yang mengambil ilham dari irfan dan bermuara ke irfan. Dengan mafhum globalnya,
irfan mencakup tasawuf dan berbagai tatacara serta jalan yang lain. Dalam
kitab-kitab dan ungkapan-ungkapan para pembesar sufi Islam juga terlihat bahwa
arif memiliki makna yang lebih tinggi dan terpisah dari pengertian sufi. Dalam
kitab Israr Tauhid, Haji Imam Mudzafar Nu’ani berkata kepada Syekh Abu
Sa’id: “Aku tidak berbicara tentang kesufianmu dan aku juga tidak berbicara
tentang kegembelanmu, tetapi aku berbicara tentang kearifanmu dalam rangka
meraih kesempurnaan”. Syekh menjawab: “Dia berkata benar”. Singkatnya, yang
dimaksud dengan irfan adalah cara dan jalan yang dengannya hakikat dapat
diperoleh melalui penyingkapan (kasyaf) dan penyaksian batin (syuhud) dan
dibarengi dengan pelatihan dan penyucian jiwa. Sedangkan yang menjadi tujuan
arif dalam menjalani seir dan suluk hanyalah Allah semata. Sang arif menyembah
Tuhan atas dasar cinta, bukan karena berharap pahala dan ganjaran surga-Nya dan
bukan pula karena takut akan azab dan neraka-Nya.[18]
Penyair berkata:
Perjalanan akal hanyalah liku-liku
Bagi arif, tiada yang lain kecuali Tuhan
Di sinilah perbedaan antara arif dan
hakim. Seorang hakim (bijak) akan menggunakan argumen/istidlal logis dalam
menyingkap hakekat dan meraih kebenaran. Tetapi seorang arif akan meraihnya
melalui pelatihan dan pembersihan jiwa. Batinnya akan jernih sehingga ia dapat
menyingkap hakikat itu (kasyaf) dan menyaksikannya sendiri (syuhud). Itulah
sebabnya mengapa dalam pertemuan dengan Abu Said (seorang arif), Abu Ali Sina
(seorang filosof) berkata: “Apa yang kuketahui, Ia melihatnya.” Sedangkan Abu
Said berkata: “Apa yang kulihat, Ia mengetahuinya.”[19]
Berbekal ilmu yang telah dicapainya
melalui istidlal akli, latihan-latihan yang dilakukannya dalam rangka
menyucikan ruh, perhatian total kepada al-Haq dan berpegang teguh pada
nilai-nilai luhur keagamaan, maka sang arif akan mendapatkan Sang Haq dengan
cahaya bashirat. Dengan demikian, ia telah mencapai posisi yang telah
disebutkan dalam hadis Maksumin as berikut: ” Al-ilmu nurun, yaqzdifuhullahu
fi qalbi man yasya“[20]
dan setiap saat ia akan melihat dengan mata bashirat dan cahaya hakekat.
Istidlal akli mungkin dapat memuaskan sebagian kalangan, tetapi ia tidak dapat
memberikan ketenangan batin. Satu-satunya jalan yang dapat menenangkan dan
meyakinkan hati adalah jalan percintaan dengan Tuhan.[21]
Hijab[22]
dalam Pandangan Irfan
Membahas masalah hijab dalam
pandangan irfan—setelah mengenal terlebih dahulu apa hijab dan irfan—akan
membuat kita lebih mudah memahami pembahasan hijab dalam pandangan irfan.
Tentunya hal ini berkaitan dengan dua pembahasan karena irfan sendiri terdiri
dari irfan teori/nadzari dan irfan praktis/amali.
Pembahasan irfan teori adalah
pembahasan tentang kaidah-kaidah irfan yang akan diterapkan oleh seorang arif
ketika ia menjalani seir wa suluk. Sedangkan irfan amali adalah pelaksanaan
kaidah-kaidah irfan dalam bentuk amal perbuatan oleh seorang arif. Maka
pembahasan hijab dalam pandangan irfan akan terdiri dari dua pembahasan.
Pembahasan pertama; pembahasan hijab dalam irfan teori dan kedua; pembahasan
hijab amali dalam pandangan seorang arif.
Pembahasan teoritis hijab dalam
pandangan irfan berarti membicarakan hijab berdasarkan kaidah teoritis irfan.
Sedangkan pembahasan amali hijab dalam pandangan arif atau arifah berarti
membicarakan hijab secara praktis yang dilakukan oleh seorang arif. Hal ini
seiring dengan pemahaman kita tentang Islam yang selalu bertumpu pada dua hal
yaitu akidah dan amal. Dan karena hakikat irfan sebenarnya adalah hakikat Islam
itu sendiri, maka seluruh ajaran yang merupakan akidah atau prinsip kepercayaan
adalah irfan teori itu sendiri. Dan semua amal atau praktek islami yang telah
ditetapkan oleh Allah swt dan harus ditaati oleh setiap muslim mukallaf adalah
irfan amali itu sendiri.
Ketika ketaatan yang dilakukan oleh
seorang muslim dibandingkan dengan muslim lainnya, maka sudah pasti nilainya
akan berbeda karena kondisi mereka yang memang berbeda. Di sinilah kunci
perbedaan derajat ibadah yang dilakukan oleh kaum muslimin yang akhirnya
meniscayakan adanya perbedaan maqam sesuai dengan tujuan dan niat mereka dalam
melaksanakan ibadah. Para Makshumin as, jauh-jauh hari telah mengisyaratkan
jenis-jenis ibadah yang dilakukan oleh hamba Allah dengan membaginya dalam tiga
golongan: golongan pertama adalah mereka yang menyembah Allah karena takut dan
ibadah mereka disebut sebagai ibadah budak. Golongan kedua adalah mereka yang
menyembah Allah untuk mendapatkan surga atau ganjaran dan ibadah mereka disebut
sebagai ibadah pedagang. Sedang golongan ketiga adalah mereka yang menyembah
Allah atas dasar cinta dan kerinduan kepada Allah sehingga ibadah yang mereka
lakukan disebut sebagai ibadah orang-orang merdeka dan inilah ibadah yang
paling baik di sisi Allah swt.[23]
Para arif melakukan ibadah kepada Allah atas dasar cinta sehingga yang ada di
antara mereka hanyalah asyiq(pecinta) dan ma’syuq (yang dicintai).
Pembahasan Hijab dalam Irfan Teori
Ketika mengamalkan perintah
Allah—baik dalam hal mengenakan hijab islami—setelah seorang muslim memenuhi
syarat-syarat dan batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam,
maka ia harus mengingat prinsip-prinsip irfan nazari berikut ini:
- Dunia hanyalah bersifat sementara dan akhirat adalah kehidupan yang abadi.
- Akhirat adalah tempat yang berbahagia bagi kaum beriman dan bencana bagi orang-orang kafir. Kebahagiaan abadi akhirat diperuntukkan bagi mereka yang mencintai Allah dan tidak menambatkan hatinya pada kelezatan dunia yang rendah.
- Kehidupan dunia harus dijalani dengan sikap zuhud dan menghindari segala perbuatan dosa. Dosa dan kemaksiatan harus dilihat sebagai api jahanam yang sedang berkobar-kobar sedang manusia adalah kayu bakarnya.
- Amal shaleh di dunia adalah penyebab keridhaan Allah swt.
- Segala sesuatu selain Allah adalah kecil dan tak berarti, hanya Allah yang maha besar.
- Menciptakan dan memelihara kondisi yang dikenal dengan sebutan 10 ahwal yaitu: berhati-hati, taqarrub ilallah, cinta, takut, berharap, semangat, setia, ketenangan, bersaksi, dan yakin. Kesepuluh hal ini berguna dalam rangka mencapai al-Haq, tauhid mutlak dan kefanaan dalam al-Haq.
- Adapun maqam-maqam yang akan dilalui oleh seorang arif terdiri dari tujuh maqam yaitu: taubat, wara’, hidup dengan sederhana, zuhud, faqr, sabar, tawakal dan ridha.[24]
Hijab dalam Irfan Praktis
Seorang muslim dan muslimah yang
arif akan mentaati Allah dalam kondisi bercinta[25]
dengan-Nya dan tujuan mereka hanyalah kecintaan dan keridhoan Allah semata.
Oleh karena itu, dalam doanya para Makshumin as berkata: “Wahai Tuhanku,
seandainya Engkau memasukkan aku ke dalam neraka tetapi bersama cinta dan
keridhaan-Mu maka aku rela dan tidak gentar menjalani siksaannya. Dan
sebaliknya, jika Engkau memasukkan aku ke dalam surga bersama
ketidakridhaan-Mu, maka apa arti kenikmatan surga bersama kebencian dan
kemarahan-Mu, pastilah aku akan merasa tersiksa karena jauh dari cinta dan
keridhaan-Mu.”
Ketika hijab diterima sebagai sebuah
perintah dalam agama Islam, maka saat mengamalkannya, seorang muslim atau
muslimah yang arif hendaknya memiliki pengetahuan yang menyatu dengan
keyakinannya bahwa hijab adalah salah satu ajaran yang memiliki kredebilitas
hukum yang kuat, wajib ditaati dan merupakan salah satu sarana untuk mencapai
keridhaan Allah swt. Di saat itulah, ia tidak akan merasa terbebani dengan
hijab bahkan lebih jauh dari itu ia akan menyambut seruan berhijab dengan suka
cita karena ia melihat bahwa dengan berhijab ia akan dicintai Allah dan ia juga
tengah mencintai Allah dengan hijab yang dikenakannya.
Semakin kuat ia menjaga cintanya
kepada Allah maka ia akan semakin berhati-hati menjaga hijab dirinya dari
segala sesuatu yang dapat meruntuhkan nilai iffah dan kehormatan dirinya di
hadapan Allah. Ia akan menyadari bahwa hijab adalah salah satu penggalan
cintanya kepada Allah dan merupakan jalan untuk meraih cinta Allah. Jadi
prilaku arif dalam setiap amalannya selalu didasari oleh niat menggapai cinta
Allah dan didorong oleh perasaan cinta kepada Allah yang menggelora di dalam
jiwanya.
Sebagaimana cinta menuntut bukti dan
realisasi, maka cinta kepada Allah pun menuntut hal yang sama berupa ketaatan
atas segala perintah dan larangan Allah. Sedangkan ketaatan sendiri merupakan
salah satu jalan untuk menggapai cinta Allah dan merupakan sarana untuk
menunjukkan cinta seorang hamba kepada maulanya, yaitu Allah swt. Maka hijab
bagi seorang arif adalah salah satu urat nadi kehidupan cintanya yang
mengalirkan kesabaran dan semangat ke seluruh jiwa dan raganya untuk menjalani
kehidupan sebagai hamba shaleh Allah swt. Ketika seorang arif telah memandang
hijab sedemikian rupa, maka ia akan menjaga segala syarat dan batasan yang
telah ditetapkan oleh Kekasih sejatinya. Ia akan berusaha sesempurna mungkin
menjaga dan mempertahankan hijabnya dari segala bentuk pengurangan atau
pelecehan, baik yang datang dari dirinya sendiri akibat sikap lalai dan lupa
atau yang datang dari pihak di luar dirinya. Tentu saja tidak mungkin pengurangan
atau pelecahan itu dilakukan oleh sang arif karena jika ia melakukannya maka ia
tidak pantas lagi disebut sebagai arif. Yang mungkin terjadi adalah pelecehan
hijab dari luar dan ketika hal itu terjadi maka sang arif pasti akan dengan
bersemangat membela dan mempertahankan kesucian hijab sebagai salah satu nilai
agung Allah, meskipun pembelaan yang dilakukannya akan berakhir dengan
kesyahidan. Wassalamu ‘alaa manit taba’al huda….
Pada akhir tulisan ini mari kita
berdoa sebagaimana yang telah diajarkan oleh para Makshum as, para penunjuk
jalan menuju Allah swt:
اَللهُمَّ
عَرِّفنِی نَفسَکَ فَإنَّکَ إِن لَم تُعَرّفنِی نَفسَکَ لَم اَعرِف رَسُولَکَ ،
اَللهُمَّ عَرِّفنِی رَسُولَکَ فَإِن لَم تُعَرِّفنِی رَسُولَکَ لَم اَعرِف
حُجَّتَکَ، اَللهُمَّ عَرِّفنِی حُجَّتَکَ فَإِن لَم تُعَرِّفنِی حُجَّتَکَ
ضَلَلتُ عَن دِینِی!
“Ya Allah!
Kenalkan diri-Mu kepadaku. Jika Engkau tidak mengenalkan diri-Mu kepadaku, maka
aku tidak akan dapat mengenal Nabi-Mu. Ya Allah! Kenalkan Rasul-Mu kepadaku.
Jika Engkau tidak mengenalkan Rasul-Mu kepadaku, maka aku tidak akan dapat
mengenal Hujjah-Mu. Ya Allah! Kenalkan Hujjah-Mu kepadaku. Jika Engkau tidak
mengenalkan Hujjah-Mu kepadaku, maka akan sesatlah aku dari agamaku”.[26]
[islamalternatif.net]
[1] Surah as-Shad: 71 – 73, Surah
al-A’raf 27:” Wahai anak-anak Adam! Janganlah sekali-kali kalian tertipu oleh
syetan sebagaimana ia telah (menipu kedua orangtua kalian sehingga) kedua
orangtua kalian keluar dari surga, ia menanggalkan pakaian keduanya, untuk
diperlihatkannya aurat keduanya…”.
[4] Surah al-Asr:1-3. “Demi masa.
Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang beriman dan
beramal sholeh, saling berpesan dengan kebenaran dan saling berpesan dengan
kesabaran”.
[5] Lihat artikel ” Relasi antara
Irfan Teoritis dan Irfan Praktis” karya Muchtar Luthfi yang dimuat dalam www.islamalternatif.net pada hari Minggu, 27 Agustus 2006.
[11] Sebagaimana disebut dalam hadis
masyhur:” Siapa yang mengenal dirinya maka dia akan mengenal Tuhannya.”
[16] Maka timbullah berbagai pandangan
berbeda tentang sejarah irfan/tasawuf Islam. Sebagian kalangan menyatakan bahwa
tasawuf Islam adalah tasawuf independen yang berfondasikan al-Quran dan sunnah
Rasulullah saww dan benar-benar terjaga dari pengaruh fikiran luar. Kehidupan
irfani umat Islam dapat ditilik sejak awal abad pertama hijriah dan mengalami
berbagai perkembangan pada abad-abad berikutnya. Seandainya pun terdapat
kesamaan antara tasawuf Islami dengan pandangan irfani/mistisisme agama lain,
hal ini tidak bisa menjadi dalil bahwa tasawuf Islam lahir dari pemikiran
zuhudi dan irfani agama lain. Yang pasti adalah bahwa agama Islam memang mempunyai
warna dan benih-benih tasawuf. Ada beberapa pandangan lain berkenaan sejarah
kemunculan irfan/tasawuf dalam Islam yang tidak mungkin untuk dibahas di sini.
Yang penting diingat adalah bahwa pernyataan mereka yang menganggap bahwa
irfan/tasawuf Islam merupakan perkara asing bagi agama Islam itu sendiri,
adalah sebuah pernyataan yang dapat disanggah secara rasional.
[22] Hijab yang dimaksud dalam tulisan
ini adalah pakaian dan terjaganya iffah (kemuliaan) sebagai sebuah syariat
Islam yang wajib dikenakan dan dijaga oleh wanita dan pria muslim. Dalam kajian
irfan nadzari, hijab berarti penghalang-penghalang bagi para urafa’ ketika
menjalani seir wa suluk menuju Tuhannya. Hijab ini terbagi hijab nurani/cahaya
seperti ilmu dan amal shaleh yang terkadang bisa menjadi hijab bagi urafa’
untuk menuju Tuhannya dan hijab zulmani/kebodohan dan dosa-dosa/maksiat.
Tentunya kedua hijab haru ditanggalkan supaya terjadi mukasyafah.
[23] Perlu diingat bahwa prinsip-prinsip
irfan nazdari yang dikemukakan di sini hanya sebagai contoh saja, tidak
mencakup semuanya dan hanya bersifat pengenalan karena keterbatasan situasi dan
kondisi.
[24] Setiap prinsip atau kaidah teoritis
Irfan membutuhkan penjelasan tersendiri dan dalam kesempatan ini tidak mungkin
untuk membahasnya karena situasi dan kondisi tidak mengizinkan.
[25] Percintaan dengan seluruh sifat-sifatnya
yang dimaksud di sini akan berbeda dengan percintaan yang terjadi antara sesama
hamba karena dalam percintaan sesama hamba, pecinta dan yang dicinta adalah
makhluk yang mengemban berbagai nilai material dan kemanusiaan. Sedangkan
percintaan yang terjadi dalam teori irfan adalah percintaan antara hamba dan
maulanya yang tidak memiliki sifat-sifat materi sedikit pun. Jadi percintaan
ini akan sangat berbeda dan tidak bisa disamakan dengan percintaan yang antara
dua materi.
[26] Doa ini berasal dari Imam Shadiq as
yang diriwayatkan oleh Zuroreh dan dinukil oleh almarhum Kulaini, Syekh Thusi
dan Nu’mani, penulis kitab al-Gaibah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar