Kamis, 31 Maret 2016

KEBENARAN





Dalam hidup ini manusia senantiasa bergelut dengan pertanyaan-pertanyaan filosofis dan praktis. Apa sesungguhnya hakikat dari kehidupan? Apakah kehidupan ini memiliki awal dan akhir? Dari mana manusia berasal? Untuk apa ia hidup? Dan akan kemana ia setelah kehidupan di dunia ini?. Beberapa pertanyaan ini hanyalah contoh dari beberapa pertanyaan filosofis yang sering diajukan oleh manusia.
Namun disamping pertanyaan filosofis, manusia juga senantiasa berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan praktis yang bersinggungan langsung dengan kehidupan kesehariannya. Bagaimanakah saya harus menjalani hidup? Bagaimanakah saya harus membina keluarga saya? Bagaimanakah saya harus membina masyarakat saya? Bagaimanakah saya harus menata kehidupan mereka?. Ini adalah beberapa contoh pertanyaan praktis.
Jawaban yang dihasilkan terhadap pertanyaan filosofis akan menghasilkan pandangan dunia (world view). Sedangkan jawaban atas pertanyaan praktis akan menghasilkan sebuah ideologi. Ada beragam ideologi dan pandangan dunia yang dikemukakan oleh para filosof. Setiap ideologi tentunya dibangun atas dasar telaah rasional yang bersifat sistematis, mendasar, dan mendalam. Dan setiap ideologi akan senantiasa diperjuangkan atas dasar keyakinan akan kebenaran yang terkandung dalam ideologi tersebut.
Namun tidak jarang ada pemikir dan filosof yang memandang ideologi dalam kacamata relativisme. Friedrich Wilhelm Nietzsche ’sang pembunuh tuhan’ misalnya mengatakan, ”Truths are illusions that we have forgotten are illusions…”. Dalam pandangan Nietzche kebenaran hanyalah serpihan dari hakikat realitas. Kebenaran yang dipahami manusia senantiasa bersifat parsial, relatif, partikular, dan subjektif. Maka tak heran jika dalam karya-karyanya Nietzche selalu membantai habis setiap keyakinan dan nilai yang berkembang dalam filsafat tradisional seraya meyakinkan setiap orang bahwa filsafat yang dianutnya salah, lalu dengan enak berkata, “Be a man do not follow me—but yourself”. Pandangan-pandangan Nitzsche inilah yang kemudian mengilhami lahirnya wacana pemikiran filsafat postmodernisme yang akhir-akhir ini ramai diperbincangan oleh banyak kalangan.
Berdasarkan paparan di atas, ada beberapa petanyaan mendasar yang mesti dijawab. Mungkinkah manusia memperoleh kebenaran yang bersifat absolut? Jika iya, dengan sarana apa ia dapat menemukannya? Dan apa  kriteria dari sebuah kebenaran?
Dalam sejarah pemikiran filsafat pra-socrates pernah muncul sebuah aliran pemikiran filsafat yang meragukan kebenaran segala sesuatu. Aliran pemikiran filsafat ini dikenal dengan nama sofisme. Menurut kelompok ini, manusia tidak mungkin dapat memperoleh pengetahuan atau kebenaran. Beberapa tokoh sentral dalam aliran ini adalah Xenophanes, Heraclitus, Protagoras, dan Georgias. Bertrand Russel dalam bukunya yang berjudul History of Western Philosophy mengutip salah satu doktrin Protagoras, yang menurutnya merupakan tokoh terpenting dalam mazhab sofisme. Protagoras mengajarkan bahwa, “Manusia adalah ukuran segalanya, jika manusia menganggapnya demikian maka demikianlah adanya, dan jika tak demikian maka tak demikian pula”. Mengenai eksistensi para dewa Protagoras menuliskan dalam bukunya yang berjudul On the Gods, “Perihal dewa-dewa, saya tak tahu apakah mereka ada atau tak ada, dan seperti apa wujud mereka; sebab ada banyak hal yang mengelak dari pengetahuan yang pasti, ketidakjelasan persoalan dan singkatnya hidup manusia”.
Tradisi pemikiran sofisme ini juga pernah menjangkiti pemikiran sebagian filosof muslim. Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud dalam buku yang ditulisnya, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas, mengutip pembagian Al Attas atas mazhab sofisme yang berkembang pada kelompok filosof muslim. Pertama adalah kelompok gnostik. Kelompok ini senantiasa skeptis dengan eksistensi segala sesuatu sehingga menolak posibilitas ilmu pengetahuan. Kedua adalah kelompok subjektifis. Kelompok ini menerima posibilitas ilmu pengetahuan, hanya saja kelompok ini menolak sifat objektifitas dari ilmu pengetahuan dan kebenaran. Kelompok terakhir adalah kelompok yang paling ekstrim di antara mazhab sofisme. Kelompok ini sama sekali tidak meyakini eksistensi realitas. Bagi mereka realitas tidak lain hanyalah sebentuk fantasi atau khayalan semu dari manusia.
Menanggapi tantangan yang muncul dari kelompok sofisme ini, Murtadha Muthahhari memberikan jawaban yang cukup cerdas dan menohok. Intinya saat mengalami keraguan kaum sofis sebenarnya tidak dapat mengelak dari satu hal, bahwa pada saat itu mereka sedang meyakini keraguan yang mereka alami. Dengan kata lain, pada saat mengalami keraguan kaum sofis sebetulnya sedang ’mengalami’ kebenaran dan keyakinan itu sendiri. Dan keyakinan semacam ini bersifat absolut. Sehingga pada hakikatnya manusia dapat meraih pengetahuan dan kebenaran yang bersifat absolut.
Namun harus diakui bahwa tidak semua jenis pengetahuan memiliki derajat kebenaran yang sampai pada tingkat mutlak. Ada hal-hal tertentu yang masih bersifat relatif dan terbuka untuk diperdebatkan. Kebenaran dalam teori-teori sains misalnya hanya dapat dibenarkan selama belum ada teori baru yang membatalkan teori-teori sebelumnya. Pada abad pertengahan, bumi diyakini sebagai pusat dari alam semesta (geosentrisme). Tetapi temuan Galileo Galilei lalu datang dengan membantah teori geosentrisme yang diyakini oleh gereja pada abad pertengahan ini. Galileo mengatakan bahwa mataharilah yang merupakan pusat dari alam semesta (heliosentrisme). Lalu adakah manusia saat ini yang mampu memastikan ketiadaan pusat lain alam semesta dimana matahari sekalipun berotasi mengelilinginya? Oleh karena itu manusia harus bijaksana untuk mengakui keabsolutan (qathiyyah) beberapa jenis pengetahuan dan relativitas (dzanniyyah) dalam sebagaian pengetahuan yang lain.
Lanjut pada pertanyaan kedua, dengan sarana apa manusia dapat menemukan kebenaran? Dalam kajian epistemologi sekuler terdapat 3 jenis sarana pengetahuan yakni: indera, rasio, dan intuisi. Namun dalam tradisi epistemologi Islam wahyu—khabar shadiq (Al Qur’an dan As-Sunnah)— juga diakui sebagai salah satu sumber pengetahuan. Dengan keempat sarana inilah manusia dapat menemukan kebenaran.
Meskipun demikian, dalam tiap sarana pengetahuan ini masih dimungkinkan terdapat ketidakpastian kebenaran dari pengetahuan yang dihasilkannya. Sebuah pena yang dimasukkan ke dalam air akan terlihat bengkok oleh indera penglihatan. Bintang yang disaksikan pada malam hari akan selalu terlihat kecil oleh mata kita. Namun bukti perhitungan geometri ternyata membuktikan kesalahan indera penglihatan manusia. Namun pada sisi lain pengetahuan indera juga dapat mengahasilkan pengetahuan yang bersifat mutlak. Seperti, eksistensi laptop yang saya gunakan untuk menulis tulisan ini. Indera penglihatan saya dapat memastikan bahwa laptop yang saat ini ada di hadapan saya memang benar-benar ada.
Begitupun dengan rasio, nilai kebenaran dari pengetahuan yang dihasilkan olehnya sangat bergantung kepada kelengkapan informasi mengenai objek yang ditelaahnya. Namun dalam beberapa hal, rasio mampu menghasilkan pengetahuan yang bersifat mutlak. Seperti, ’ada’ dan ’tiada’ tidak mungkin dapat berkumpul pada saat yang bersamaan. Laptop yang saya gunakan untuk menulis tulisan ini tidak mungkin dapat ’ada’ sekaligus ’tiada’ pada saat yang bersamaan. Bagian pasti lebih kecil daripada keseluruhan. Angka 3 pasti lebih kecil dibandingkan dengan angka 10. Mustahil angka 10 lebih kecil dari angka 3. Ini adalah contoh pengetahuan aksiomatis yang dihasilkan oleh rasio. Nilai kebenarannya bersifat absolut dan final.
Adapun intuisi sangat sulit (bukan mustahil) untuk dibuktikan secara diskursif. Namun bukan berarti bahwa intuisi tidak mampu menghasilkan pengetahuan yang bernilai mutlak. Contoh: kesadaran akan eksistensi diri hanya dapat dibuktikan melalui sarana intuisi. Walaupun Descartes telah mencoba memberi bukti rasional terhadap masalah ini dengan ’cogito ergo sum’ nya, namun tetap saja Descartes tidak mampu membuktikan eksistensi dari ”aku yang berpikir” dalam solusi filosofisnya tersebut. Karena pembuktian secara diskursif terhadap ”aku yang berpikir” tidak lain hanyalah sebentuk usaha yang sia-sia. Sebab keberadaan ”aku” yang mandiri sudah sedemikian nyatanya dirasakan oleh alat intuisi manusia sehingga tidak memerlukan bukti representatif apapun lagi. Begitupun halnya dengan perasaan cinta. Cinta adalah pengalaman eksistensial yang dirasakan oleh seseorang. Adakah manusia di dunia ini yang mampu membuktikan perasaan cintanya dengan menggunakan sarana pembuktian yang rasional?
Sedemikian nyatanya perasaan cinta ini, Prof. John Nash seorang ahli matematika dan ekonomi yang menjadi peraih hadiah nobel ekonomi pada tahun 1994 pernah mengatakan:
”Aku selalu percaya akan angka dalam persamaan dan logika yang membawaku pada akal sehat. Tetapi setelah seumur hidup, aku bertanya, apa logika itu sebenarnya? Siapa yang berhak memutuskan apa yang masuk akal? Pencarianku membawaku ke alam fisik, metafisik, delusional, dan kembali. Telah kutemukan penemuan penting dalam karirku. Penemuan paling penting dalam hidupku. Bahwa hanya dalam persamaan misterius cinta sajalah, alasan ’logis’ dapat ditemukan”.
Sebuah buku luar biasa yang membahas mengenai masalah intuisi ditulis oleh Dr. Mehdi Hairi Yazdi dalam bukunya yang berjudul Knowledge by Presence.
Sebagaimana yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya bahwa dalam tradisi epistemologi Islam, wahyu (Al Qur’an dan As-Sunnah) juga diakui sebagai salah satu sumber kebenaran. Pengetahuan yang dihasilkan oleh wahyu ini sangat berkaitan erat dengan pengetahuan terhadap aspek teologis (akidah), ibadah, muamalah, dan etika (akhlak). Sebagaimana halnya sarana epistemologi yang lain, epistemologi wahyu juga dapat menghasilkan pengetahuan yang bersifat mutlak (qath’i) sekaligus pengetahuan yang masih bisa diperdebatkan (dzanni). Sangat banyak contoh yang dapat menjelaskan hal ini. Perintah untuk mendirikan shalat (Q.S Al-Ankabut: 45) merupakan pengetahuan yang bersifat absolut. Namun dalam sebagian besar tatacaranya terbuka ruang yang sangat lebar bagi munculnya perbedaan pendapat. Beberapa ulama berpendapat bahwa bersedekap (meletakan tangan di atas dada sewaktu shalat) merupakan bagian dari sunnah shalat. Sedangkan beberapa ulama lain mengharamkannya. Ini hanyalah sekedar beberapa contoh yang bisa dikemukakan.
Pemahaman terhadap status pengetahuan wahyu ini sangat penting untuk dipahami oleh umat Islam. Sebab keniscayaan akan adanya pengetahuan yang bernilai mutlak dan relatif tentu harus diikuti dengan sikap dan pendekatan yang berbeda pula. Dalam masalah pengetahuan yang bernilai absolut maka umat Islam mesti bersatu di dalamnya. Sedangkan dalam masalah pengetahuan yang masih bersifat multitafsir maka umat Islam harus saling mengedepankan sikap saling toleransi antar satu sama lain. Tidak boleh ada sikap saling mencaci dan memonopoli kebenaran karena menganggap hanya pendapatnya sajalah yang paling benar.
Setelah membahas seluruh sarana epistemologi beserta potensialitas kebenarannya maka tibalah kita untuk menjawab pertanyaan terakhir yang diajukan dalam tulisan ini, apa kriteria dari kebenaran itu sendiri?
Dalam bukunya yang berjudul Chronological and Thematic Charts of Philosophies and Philosophers, Milton D. Hunnex menyebutkan tiga teori yang menjelaskan mengenai kriteria kebenaran. Pertama, teori pragmatisme. Menurut teori ini sebuah proposisi dikatakan benar manakala proposisi tersebut memiliki manfaat praktis yang dapat dirasakan oleh individu maupun masyarakat. Teori ini pernah digunakan oleh seorang filosof besar, William James, ketika ia berupaya membuktikan kebenaran dari kehidupan beragama. Menurutnya agama dapat dibenarkan karena mampu memberikan dampak positif bagi terwujudnya stabilitas sosial. Dengan beragama seseorang akan terdorong untuk berbuat baik dan meninggalkan perbuatan buruk. Sehingga keamanaan, ketentraman, dan kedamaian akan tercipta.
Teori kedua adalah teori korespondensi. Berdasarkan teori ini kebenaran ditentukan oleh kesesuaian antara suatu proposisi dengan realitas. Jika ada yang mengatakan bahwa ayam adalah hewan yang berkaki lima maka dapat dipastikan bahwa proposisi tersebut salah karena bertolak belakang dengan kenyataan empirik yang ada. Sedangkan penyataan yang menyatakan bahwa sapi adalah hewan berkaki empat dapat dipastikan kebenarannya karena bersesuaian dengan fakta.
Teori ketiga adalah teori koherensi. Menurut teori ini kebenaran ditentukan oleh kesesuaian suatu proposisi dengan pengetahuan aksiomatis yang telah ada sebelumnya. Misalnya proposisi ”besar sudut dari sebuah garis lurus adalah 180 derajat”. Pernyataan ini dapat dibenarkan karena sesuai dengan pengetahuan aksiomatis yang telah diakui sebelumnya, bahwa jumlah atau besar sudut dari sebuah garis lingkaran penuh ialah 360 derajat. Sedangkan proposisi yang berbunyi ”seekor anak ayam melahirkan induknya” dapat dipastikan salah karena bertentangan dengan pengetahuan aksiomatis yang telah ada dan diakui secara umum. Inti dari teori ini adalah bahwa kebenaran ditentukan oleh prinsip nonkontradiksi antara proposisi yang ingin dibuktikan dengan pengetahuan aksiomatis yang telah diakui sebelumnya.
Menimbang berbagai argumentasi yang terkandung dalam ketiga teori di atas, penulis memilih teori yang kedua, teori korespondensi, sebagai teori terkuat yang mampu menjelaskan tentang apa kriteria dari kebenaran itu. Alasan penulis memilih teori ini ialah, karena realitas merupakan objek yang coba diungkapkan oleh setiap proposisi. Sehingga realitas jugalah yang harus dijadikan sebagai dasar bagi kebenaran sebuah proposisi, apakah proposisi tersebut sesuai dengan fakta ataukah tidak. Namun yang patut ditekankan disini ialah bahwa hakikat realitas tidak hanya terbatas pada realitas empirik an sich. Sebab realitas juga dapat berbentuk non-materi.
Adapun mengenai teori koherensi, teori ini sebenarnya hanyalah merupakan konsekuensi logis dari teori korespondensi. Sebab tidak mungkin proposisi yang telah diuji kebenarannya (sesuai dengan fakta) akan kontradiktif dengan pengetahuan aksiomatik yang telah ada sebelumnya. Sedangkan mengenai teori kebenaran pragmatis, teori ini tidak dapat dipertahankan. Sebab manfaat dari segala sesuatu senantiasa berubah sesuai dengan perkembangan kondisi dan zaman. Sehingga kebenaran menurut teori ini hanyalah bersifat tentatif sekaligus relatif.
Dewasa ini, umat manusia dihadapkan dengan sejumlah tawaran pemikiran, ideologi, dan pandangan dunia. Tidak bisa tidak, tindakan seorang manusia rasional mengharuskannya untuk memilih salah satu di antara sekian banyak opsi ideologi tersebut untuk dijadikan sebagai pegangan hidupnya. Tentunya pemikiran, ideologi, dan pandangan dunia yang diadopsinya haruslah berpijak di atas kebenaran yang kokoh. Sehingga hal ini mengharuskan setiap orang untuk melakukan seleksi terhadap setiap pemikiran, ideologi, dan pandangan dunia yang ada.
Namun dalam proses penyeleksian ini tidak jarang muncul para pemikir yang mengalami semacam gejala kefrustasian intelektual, dimana rasa frustasi tersebut diekpresikannya melalui anggapan bahwa semua jenis pemikiran, ideologi, dan pandangan dunia yang ada di dunia ini masing-masing mengandung kebenaran di dalam dirinya sendiri. Sehingga gejala pemikran semacam ini menumbuhkan sikap intelektual yang subjektivistik, relativistik, atau bahkan sinkretistik.
Walaupun masih memerlukan elaborasi dan telaah yang lebih dalam, namun tulisan ini ingin menunjukan bahwa tidak semua masalah —khususnya dalam hal pemikiran, ideologi, dan pandangan dunia— yang ada di dunia ini dapat dengan mudah digeneralisasi sebagai sesuatu yang serba subjektif atau relatif. Sebab kebenaran absolut bukanlah utopia yang muncul dari manusia-manusia yang menginginkan atau mendambakan hadirnya kebenaran sejati. Karenanya manusia harus optimis dengan kesanggupannya untuk meraih kebenaran sejati tersebut. Tentunya dengan jalan mengoptimalkan seluruh potensi intelektual yang dimilikinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LPJ BOS SMK Tahun Anggaran 2020

LPJ BOS SMK Tahun Anggaran 2020 User via SMS :  0857 5954 7892 FB :  https://web.facebook.com/iwan.kurniawanb Twitte...