Dalam hidup ini manusia senantiasa bergelut dengan
pertanyaan-pertanyaan filosofis dan praktis. Apa sesungguhnya hakikat dari
kehidupan? Apakah kehidupan ini memiliki awal dan akhir? Dari mana manusia
berasal? Untuk apa ia hidup? Dan akan kemana ia setelah kehidupan di dunia
ini?. Beberapa pertanyaan ini hanyalah contoh dari beberapa pertanyaan
filosofis yang sering diajukan oleh manusia.
Namun disamping pertanyaan filosofis, manusia juga
senantiasa berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan praktis yang bersinggungan
langsung dengan kehidupan kesehariannya. Bagaimanakah saya harus menjalani
hidup? Bagaimanakah saya harus membina keluarga saya? Bagaimanakah saya harus
membina masyarakat saya? Bagaimanakah saya harus menata kehidupan mereka?. Ini
adalah beberapa contoh pertanyaan praktis.
Jawaban yang dihasilkan terhadap pertanyaan filosofis akan
menghasilkan pandangan dunia (world view). Sedangkan jawaban atas
pertanyaan praktis akan menghasilkan sebuah ideologi. Ada beragam ideologi dan
pandangan dunia yang dikemukakan oleh para filosof. Setiap ideologi tentunya
dibangun atas dasar telaah rasional yang bersifat sistematis, mendasar, dan
mendalam. Dan setiap ideologi akan senantiasa diperjuangkan atas dasar
keyakinan akan kebenaran yang terkandung dalam ideologi tersebut.
Namun tidak jarang ada pemikir dan filosof yang memandang
ideologi dalam kacamata relativisme. Friedrich Wilhelm Nietzsche ’sang
pembunuh tuhan’ misalnya mengatakan, ”Truths are illusions that we have
forgotten are illusions…”. Dalam pandangan Nietzche kebenaran hanyalah
serpihan dari hakikat realitas. Kebenaran yang dipahami manusia senantiasa
bersifat parsial, relatif, partikular, dan subjektif. Maka tak heran jika dalam
karya-karyanya Nietzche selalu membantai habis setiap keyakinan dan nilai yang
berkembang dalam filsafat tradisional seraya meyakinkan setiap orang bahwa
filsafat yang dianutnya salah, lalu dengan enak berkata, “Be a man do not
follow me—but yourself”. Pandangan-pandangan Nitzsche inilah yang kemudian
mengilhami lahirnya wacana pemikiran filsafat postmodernisme yang akhir-akhir
ini ramai diperbincangan oleh banyak kalangan.
Berdasarkan paparan di atas, ada beberapa petanyaan mendasar
yang mesti dijawab. Mungkinkah manusia memperoleh kebenaran yang bersifat
absolut? Jika iya, dengan sarana apa ia dapat menemukannya? Dan apa
kriteria dari sebuah kebenaran?
Dalam sejarah pemikiran filsafat pra-socrates pernah muncul
sebuah aliran pemikiran filsafat yang meragukan kebenaran segala sesuatu.
Aliran pemikiran filsafat ini dikenal dengan nama sofisme. Menurut kelompok
ini, manusia tidak mungkin dapat memperoleh pengetahuan atau kebenaran.
Beberapa tokoh sentral dalam aliran ini adalah Xenophanes, Heraclitus,
Protagoras, dan Georgias. Bertrand Russel dalam bukunya yang berjudul History
of Western Philosophy mengutip salah satu doktrin Protagoras, yang
menurutnya merupakan tokoh terpenting dalam mazhab sofisme. Protagoras
mengajarkan bahwa, “Manusia adalah ukuran segalanya, jika manusia menganggapnya
demikian maka demikianlah adanya, dan jika tak demikian maka tak demikian
pula”. Mengenai eksistensi para dewa Protagoras menuliskan dalam bukunya yang
berjudul On the Gods, “Perihal dewa-dewa, saya tak tahu apakah mereka
ada atau tak ada, dan seperti apa wujud mereka; sebab ada banyak hal yang
mengelak dari pengetahuan yang pasti, ketidakjelasan persoalan dan singkatnya
hidup manusia”.
Tradisi pemikiran sofisme ini juga pernah menjangkiti
pemikiran sebagian filosof muslim. Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud dalam buku
yang ditulisnya, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad
Naquib Al-Attas, mengutip pembagian Al Attas atas mazhab sofisme yang
berkembang pada kelompok filosof muslim. Pertama adalah kelompok gnostik.
Kelompok ini senantiasa skeptis dengan eksistensi segala sesuatu sehingga
menolak posibilitas ilmu pengetahuan. Kedua adalah kelompok subjektifis.
Kelompok ini menerima posibilitas ilmu pengetahuan, hanya saja kelompok ini
menolak sifat objektifitas dari ilmu pengetahuan dan kebenaran. Kelompok
terakhir adalah kelompok yang paling ekstrim di antara mazhab sofisme. Kelompok
ini sama sekali tidak meyakini eksistensi realitas. Bagi mereka realitas tidak
lain hanyalah sebentuk fantasi atau khayalan semu dari manusia.
Menanggapi tantangan yang muncul dari kelompok sofisme ini,
Murtadha Muthahhari memberikan jawaban yang cukup cerdas dan menohok. Intinya
saat mengalami keraguan kaum sofis sebenarnya tidak dapat mengelak dari satu
hal, bahwa pada saat itu mereka sedang meyakini keraguan yang mereka alami.
Dengan kata lain, pada saat mengalami keraguan kaum sofis sebetulnya sedang
’mengalami’ kebenaran dan keyakinan itu sendiri. Dan keyakinan semacam ini
bersifat absolut. Sehingga pada hakikatnya manusia dapat meraih pengetahuan dan
kebenaran yang bersifat absolut.
Namun harus diakui bahwa tidak semua jenis pengetahuan
memiliki derajat kebenaran yang sampai pada tingkat mutlak. Ada hal-hal
tertentu yang masih bersifat relatif dan terbuka untuk diperdebatkan. Kebenaran
dalam teori-teori sains misalnya hanya dapat dibenarkan selama belum ada teori
baru yang membatalkan teori-teori sebelumnya. Pada abad pertengahan, bumi
diyakini sebagai pusat dari alam semesta (geosentrisme). Tetapi temuan Galileo
Galilei lalu datang dengan membantah teori geosentrisme yang diyakini oleh
gereja pada abad pertengahan ini. Galileo mengatakan bahwa mataharilah yang
merupakan pusat dari alam semesta (heliosentrisme). Lalu adakah manusia saat
ini yang mampu memastikan ketiadaan pusat lain alam semesta dimana matahari
sekalipun berotasi mengelilinginya? Oleh karena itu manusia harus bijaksana
untuk mengakui keabsolutan (qathiyyah) beberapa jenis pengetahuan dan
relativitas (dzanniyyah) dalam sebagaian pengetahuan yang lain.
Lanjut pada pertanyaan kedua, dengan sarana apa manusia
dapat menemukan kebenaran? Dalam kajian epistemologi sekuler terdapat 3 jenis
sarana pengetahuan yakni: indera, rasio, dan intuisi. Namun dalam tradisi
epistemologi Islam wahyu—khabar shadiq (Al Qur’an dan As-Sunnah)— juga
diakui sebagai salah satu sumber pengetahuan. Dengan keempat sarana inilah
manusia dapat menemukan kebenaran.
Meskipun demikian, dalam tiap sarana pengetahuan ini masih
dimungkinkan terdapat ketidakpastian kebenaran dari pengetahuan yang
dihasilkannya. Sebuah pena yang dimasukkan ke dalam air akan terlihat bengkok
oleh indera penglihatan. Bintang yang disaksikan pada malam hari akan selalu
terlihat kecil oleh mata kita. Namun bukti perhitungan geometri ternyata
membuktikan kesalahan indera penglihatan manusia. Namun pada sisi lain
pengetahuan indera juga dapat mengahasilkan pengetahuan yang bersifat mutlak.
Seperti, eksistensi laptop yang saya gunakan untuk menulis tulisan ini. Indera
penglihatan saya dapat memastikan bahwa laptop yang saat ini ada di hadapan
saya memang benar-benar ada.
Begitupun dengan rasio, nilai kebenaran dari pengetahuan
yang dihasilkan olehnya sangat bergantung kepada kelengkapan informasi mengenai
objek yang ditelaahnya. Namun dalam beberapa hal, rasio mampu menghasilkan
pengetahuan yang bersifat mutlak. Seperti, ’ada’ dan ’tiada’ tidak mungkin
dapat berkumpul pada saat yang bersamaan. Laptop yang saya gunakan untuk
menulis tulisan ini tidak mungkin dapat ’ada’ sekaligus ’tiada’ pada saat yang
bersamaan. Bagian pasti lebih kecil daripada keseluruhan. Angka 3 pasti lebih
kecil dibandingkan dengan angka 10. Mustahil angka 10 lebih kecil dari angka 3.
Ini adalah contoh pengetahuan aksiomatis yang dihasilkan oleh rasio. Nilai
kebenarannya bersifat absolut dan final.
Adapun intuisi sangat sulit (bukan mustahil) untuk
dibuktikan secara diskursif. Namun bukan berarti bahwa intuisi tidak mampu
menghasilkan pengetahuan yang bernilai mutlak. Contoh: kesadaran akan
eksistensi diri hanya dapat dibuktikan melalui sarana intuisi. Walaupun
Descartes telah mencoba memberi bukti rasional terhadap masalah ini dengan ’cogito
ergo sum’ nya, namun tetap saja Descartes tidak mampu membuktikan
eksistensi dari ”aku yang berpikir” dalam solusi filosofisnya tersebut. Karena
pembuktian secara diskursif terhadap ”aku yang berpikir” tidak lain hanyalah
sebentuk usaha yang sia-sia. Sebab keberadaan ”aku” yang mandiri sudah
sedemikian nyatanya dirasakan oleh alat intuisi manusia sehingga tidak
memerlukan bukti representatif apapun lagi. Begitupun halnya dengan perasaan
cinta. Cinta adalah pengalaman eksistensial yang dirasakan oleh seseorang.
Adakah manusia di dunia ini yang mampu membuktikan perasaan cintanya dengan
menggunakan sarana pembuktian yang rasional?
Sedemikian nyatanya perasaan cinta ini, Prof. John Nash
seorang ahli matematika dan ekonomi yang menjadi peraih hadiah nobel ekonomi
pada tahun 1994 pernah mengatakan:
”Aku selalu percaya akan angka dalam persamaan dan logika
yang membawaku pada akal sehat. Tetapi setelah seumur hidup, aku bertanya, apa
logika itu sebenarnya? Siapa yang berhak memutuskan apa yang masuk akal?
Pencarianku membawaku ke alam fisik, metafisik, delusional, dan kembali. Telah
kutemukan penemuan penting dalam karirku. Penemuan paling penting dalam
hidupku. Bahwa hanya dalam persamaan misterius cinta sajalah, alasan ’logis’
dapat ditemukan”.
Sebuah buku luar biasa yang membahas mengenai masalah
intuisi ditulis oleh Dr. Mehdi Hairi Yazdi dalam bukunya yang berjudul Knowledge
by Presence.
Sebagaimana yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya
bahwa dalam tradisi epistemologi Islam, wahyu (Al Qur’an dan As-Sunnah) juga
diakui sebagai salah satu sumber kebenaran. Pengetahuan yang dihasilkan oleh
wahyu ini sangat berkaitan erat dengan pengetahuan terhadap aspek teologis
(akidah), ibadah, muamalah, dan etika (akhlak). Sebagaimana halnya sarana
epistemologi yang lain, epistemologi wahyu juga dapat menghasilkan pengetahuan
yang bersifat mutlak (qath’i) sekaligus pengetahuan yang masih bisa
diperdebatkan (dzanni). Sangat banyak contoh yang dapat menjelaskan hal
ini. Perintah untuk mendirikan shalat (Q.S Al-Ankabut: 45) merupakan pengetahuan
yang bersifat absolut. Namun dalam sebagian besar tatacaranya terbuka ruang
yang sangat lebar bagi munculnya perbedaan pendapat. Beberapa ulama berpendapat
bahwa bersedekap (meletakan tangan di atas dada sewaktu shalat) merupakan
bagian dari sunnah shalat. Sedangkan beberapa ulama lain
mengharamkannya. Ini hanyalah sekedar beberapa contoh yang bisa dikemukakan.
Pemahaman terhadap status pengetahuan wahyu ini sangat
penting untuk dipahami oleh umat Islam. Sebab keniscayaan akan adanya
pengetahuan yang bernilai mutlak dan relatif tentu harus diikuti dengan sikap
dan pendekatan yang berbeda pula. Dalam masalah pengetahuan yang bernilai
absolut maka umat Islam mesti bersatu di dalamnya. Sedangkan dalam masalah
pengetahuan yang masih bersifat multitafsir maka umat Islam harus saling
mengedepankan sikap saling toleransi antar satu sama lain. Tidak boleh ada
sikap saling mencaci dan memonopoli kebenaran karena menganggap hanya
pendapatnya sajalah yang paling benar.
Setelah membahas seluruh sarana epistemologi beserta
potensialitas kebenarannya maka tibalah kita untuk menjawab pertanyaan terakhir
yang diajukan dalam tulisan ini, apa kriteria dari kebenaran itu sendiri?
Dalam bukunya yang berjudul Chronological and Thematic
Charts of Philosophies and Philosophers, Milton D. Hunnex menyebutkan tiga
teori yang menjelaskan mengenai kriteria kebenaran. Pertama, teori pragmatisme.
Menurut teori ini sebuah proposisi dikatakan benar manakala proposisi tersebut
memiliki manfaat praktis yang dapat dirasakan oleh individu maupun masyarakat.
Teori ini pernah digunakan oleh seorang filosof besar, William James, ketika ia
berupaya membuktikan kebenaran dari kehidupan beragama. Menurutnya agama dapat
dibenarkan karena mampu memberikan dampak positif bagi terwujudnya stabilitas
sosial. Dengan beragama seseorang akan terdorong untuk berbuat baik dan
meninggalkan perbuatan buruk. Sehingga keamanaan, ketentraman, dan kedamaian
akan tercipta.
Teori kedua adalah teori korespondensi. Berdasarkan teori
ini kebenaran ditentukan oleh kesesuaian antara suatu proposisi dengan
realitas. Jika ada yang mengatakan bahwa ayam adalah hewan yang berkaki lima
maka dapat dipastikan bahwa proposisi tersebut salah karena bertolak belakang
dengan kenyataan empirik yang ada. Sedangkan penyataan yang menyatakan bahwa
sapi adalah hewan berkaki empat dapat dipastikan kebenarannya karena
bersesuaian dengan fakta.
Teori ketiga adalah teori koherensi. Menurut teori ini kebenaran
ditentukan oleh kesesuaian suatu proposisi dengan pengetahuan aksiomatis yang
telah ada sebelumnya. Misalnya proposisi ”besar sudut dari sebuah garis lurus
adalah 180 derajat”. Pernyataan ini dapat dibenarkan karena sesuai dengan
pengetahuan aksiomatis yang telah diakui sebelumnya, bahwa jumlah atau besar
sudut dari sebuah garis lingkaran penuh ialah 360 derajat. Sedangkan proposisi
yang berbunyi ”seekor anak ayam melahirkan induknya” dapat dipastikan salah
karena bertentangan dengan pengetahuan aksiomatis yang telah ada dan diakui
secara umum. Inti dari teori ini adalah bahwa kebenaran ditentukan oleh prinsip
nonkontradiksi antara proposisi yang ingin dibuktikan dengan pengetahuan
aksiomatis yang telah diakui sebelumnya.
Menimbang berbagai argumentasi yang terkandung dalam ketiga
teori di atas, penulis memilih teori yang kedua, teori korespondensi, sebagai
teori terkuat yang mampu menjelaskan tentang apa kriteria dari kebenaran itu.
Alasan penulis memilih teori ini ialah, karena realitas merupakan objek yang
coba diungkapkan oleh setiap proposisi. Sehingga realitas jugalah yang harus
dijadikan sebagai dasar bagi kebenaran sebuah proposisi, apakah proposisi
tersebut sesuai dengan fakta ataukah tidak. Namun yang patut ditekankan disini
ialah bahwa hakikat realitas tidak hanya terbatas pada realitas empirik an
sich. Sebab realitas juga dapat berbentuk non-materi.
Adapun mengenai teori koherensi, teori ini sebenarnya
hanyalah merupakan konsekuensi logis dari teori korespondensi. Sebab tidak
mungkin proposisi yang telah diuji kebenarannya (sesuai dengan fakta) akan
kontradiktif dengan pengetahuan aksiomatik yang telah ada sebelumnya. Sedangkan
mengenai teori kebenaran pragmatis, teori ini tidak dapat dipertahankan. Sebab
manfaat dari segala sesuatu senantiasa berubah sesuai dengan perkembangan
kondisi dan zaman. Sehingga kebenaran menurut teori ini hanyalah bersifat
tentatif sekaligus relatif.
Dewasa ini, umat manusia dihadapkan dengan sejumlah tawaran
pemikiran, ideologi, dan pandangan dunia. Tidak bisa tidak, tindakan seorang
manusia rasional mengharuskannya untuk memilih salah satu di antara sekian
banyak opsi ideologi tersebut untuk dijadikan sebagai pegangan hidupnya.
Tentunya pemikiran, ideologi, dan pandangan dunia yang diadopsinya haruslah
berpijak di atas kebenaran yang kokoh. Sehingga hal ini mengharuskan setiap
orang untuk melakukan seleksi terhadap setiap pemikiran, ideologi, dan
pandangan dunia yang ada.
Namun dalam proses penyeleksian ini tidak jarang muncul para
pemikir yang mengalami semacam gejala kefrustasian intelektual, dimana rasa
frustasi tersebut diekpresikannya melalui anggapan bahwa semua jenis pemikiran,
ideologi, dan pandangan dunia yang ada di dunia ini masing-masing mengandung
kebenaran di dalam dirinya sendiri. Sehingga gejala pemikran semacam ini
menumbuhkan sikap intelektual yang subjektivistik, relativistik, atau bahkan
sinkretistik.
Walaupun masih memerlukan elaborasi dan telaah yang lebih
dalam, namun tulisan ini ingin menunjukan bahwa tidak semua masalah —khususnya
dalam hal pemikiran, ideologi, dan pandangan dunia— yang ada di dunia ini dapat
dengan mudah digeneralisasi sebagai sesuatu yang serba subjektif atau relatif.
Sebab kebenaran absolut bukanlah utopia yang muncul dari manusia-manusia yang
menginginkan atau mendambakan hadirnya kebenaran sejati. Karenanya manusia
harus optimis dengan kesanggupannya untuk meraih kebenaran sejati tersebut.
Tentunya dengan jalan mengoptimalkan seluruh potensi intelektual yang
dimilikinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar