Guru harus mampu adaptasi terhadap perkembangan dunia
pendidikan sesuai kemajuan jaman. Sebagai guru dituntut untuk tetap memiliki
daya adaptasi terhadap perkembangan dunia pendidikan terkini, baik dalam
masalah teknologi maupun pengetahuan lain. Kesadaran bahwa pendidikan harus
senantiasa tanggap terhadap kemajuan jaman telah mendorong para ahli dan
pengambil keputusan di bidang pendidikan untuk terus menerus mengadakan
perubahan. Perubahan pendidikan secara langsung dimaksudkan untuk memcecahkan
ketiga problema yaitu internal
in-efficiency , external in-efficiency dan ketidakmerataan pendapatan. Secara
tidak langsung perubahan - perubahan di sektor pendidikan yaitu perubahan
struktur pendidikan dan kurikulum, baik dalam arti content dan instructional delivery system, merupakan
upaya agar pendidikan menjadi agent of
development yang canggih. Namun perubahan yang telah dilaksanakan tidak
jarang mengandung kelemahan dan menuai kritik. Salah satu kritik dari Havelock
dan Huberman ( 1977) dan World Bank ( 1980 ) yang ditujukan pada perubahan
pendidikan dinegara berkembang termasuk Indonesia, menyatakan bahwa perubahan
pendidikan yang dilakukan tidak dapat dipraktekkan karena keterbatasan
pengetahuan pada tingkat pelaksana. Guru sebagai pelaksana harus bisa dengan
segera mengadaptasikan diri dengan perubahan kurikulum 2013 yang sudah
dicanangkan oleh Mendikbud.Guru-guru dikota besar mungkin tidak terlalu masalah
( mudah beradaptasi ), tapi bagaimana dengan guru-guru didaerah pelosok ?.Sebab
pada hakekatnya perubahan pendidikan itu harus berdasarkan pada “ what is “, bukan pada “what ought to be”. Dalam setiap
perubahan pendidikan guru memegang peran penting dan strategis, sebab merekalah
yang merupakan pelaksana .Namun pengalaman di Indonesia menunjukkan guru lebih
banyak dilihat sebagai obyek dalam perubahan kurikulum.Sehingga setiap
kebijaksanaan lebih bersifat instruksi yang harus dipatuhi dan dilaksanakan dan
tidak ada ruang bagi guru untuk berimprovisasi. Perencanaan dan kebijaksanaan
nasional memang perlu, namun perlu dicatat bahwa pelaksana perubahan kurikulum
pendidikan sangat tergantung pada semangat guru, rasa keterlibatan guru dan
kesadaran yang tinggi bagi guru. Guru akan memberikan respon positif pada
setiap perubahan yang akan dapat meningkatkan kemampuan profesional mereka dan
memberikan ruang bagi mereka untuk berimprovisasi secara aktif dalam proses
perubahan tersebut. Disamping apa yang dikemukakan diatas. Perubahan pendidikan
di negara berkembang termasuk indonesia, jarang mengevaluasi dan mengembangkan
aspek lain dari pendidikan formal diluar kurikulum dan kemampuan guru. Disamping
aspek kurikulum dan kemampuan guru, maka sekolah mempunyai aspek lain yaitu
aspek sosiologis sebab sekolah merupakan “
a mini society “. Sebagai suatu masyarakat kecil maka sekolah merupakan
cermin dari masyarakat dimana sekolah itu berada. Dalam proses “transfer of culture “termasuk didalamnya
proses pembentukan kepribadian, sikap,rasa dan juga intelektualitas sangat
penting di sekolah.Dalam dunia pendidikan terdapat dua teori yang berkaitan
dengan sekolah sebagaimana masyarakat kecil ini. Pertama ; sekolah tempat
melatih dan mempersiapkan anak didik untuk terjun dalam kehidupan mereka di
masa datang. Kedua : sekolah merupakan kehidupan riil anak didik itu sendiri,
bukannya tempat mempersiapkan anak didik. “ School
is not preparation for life, but life it self “ ( Dewey, 1944 ).Implikasi
praktis dari teori pertama tersebut adalah bahwa anak didik dalam proses
pendidikan diberlakukan sebagai obyek pendidikan.Mereka merupakan obyek yang
tengah digembleng dan dicetak agar mampu mengarungi samudera kehidupan di masa
depan. Mereka bukanlah subyek di dunia sekolah yang ada ini. Kemajuan yang
pesat dibidang ilmu dan tehnologi menyebabkan perubahan-perubahan yang
berlangsung sangat cepat dan sulit bisa diramalkan dengan tepat ( lihat Toffler
1974,1981 ). Oleh karena itu timbul pertanyaan, bagaimana mempersiapkan anak
didik untuk mengarungi samudera kehidupan di kemudian hari itu sendiri bisa di
prediksi ?.Teori kedua : menekankan hendaknya sekolah diselenggarakan
sedemikian sehingga benar-benar merupakan kehidupan riil anak didik itu
sendiri. Implikasinya dari teori ini adalah bahwa anak didik merupakan subyek
dari proses pendidikan. Kehidupan sosial anak didik dalam masyarakat keci
tersebut merupakan dasar dan sumber dari transformasi kehidupan. Peran paling
penting dalam proses pendidikan bukanlah terletak pada materi pelajaran yang
diberikan, melainkan pada aktifitas dan interaksi sosial anak didik itu
sendiri.Peran guru menurut falsafah ini lebih banyak bersifat “ tut wuri handayani “, memberikan
dorongan dan motivasi agar anak didik memapu memperluas kemampuan padangannya,
untuk mengembangkan berbagai alternatif dan pengambilan keputusan dalam
aktifitas kehidupan serta memperkuat kemauan untuk mendalami dan mengembangkan
apa yang dipelajari dalam proses kehidupan itu.Namun perlu dipahami pula bahwa
dengan menjadikan anak didik sebagai subyek dalam proses pendidikan tidak
berarti sekolah bersifat “ value free
“. Tetap saja sekolah lewat guru dan kurikulum akan menanamkan values, tetapi dengan cara “ value-fair “. Artinya dalam usaha
menanamkan nilai-nilai, guru tidak akam memaksakan sesuatu nilai tertentu
kepada anak didiknya. Melainkan guru melakukan usaha-usaha dengan berbagai cara
atau metode berbagi alat bantu, agar anak didik akan membenarkan dan menerima
nilai-nilai yang ia ajarkan, serta anak didik sendirilah yang menemukan dan
mengadopsi nilai-nilai yang ditargetkan oleh sekolah untu ditanamkan pada anak
didiknya. Banyak keberatan dari para ahli
atas bentuk sekolah berdasarkan teori yang pertama. Keberatan yang terpenting
adalah dengan menjadikan anak didik sebagai objek berarti pendidikan merupakan
tindakan "mencomot" anak didik dari lingkungannya sendiri untuk
dimasukkan ke dalam lingkungan yang lain yang belum tentu sesuai atau malahan
asing bagi anak didik. Lingkungan baru itu bernama sekolah. Kalau anak didik
tidak cocok dengan lingkungan baru, sebagai objek, anak didik tidak bisa
berbuat apa-apa. Masalahnya akan menjadi rumit, kalau apa yang dilihat,
diterima dan dihayati dalam lingkungan "mini society"
ini tidak sama atau malahan bertentangan dengan apa yang ia lihat, terima dan
hayati dari lingkungan yang lebih besar, yakni masyarakat. Akibat dari keadaan
ini, tidak mengherankan kalau banyak anak didik yang mengikuti pelajaran di
sekolah dengan setengah hati. Di fihak lain, lebih banyak para ahli yang
keberatan dengan teori kedua. Keberatan pokoknya adalah berkisar pada
kekhawatiran pendidikan akan menjadi proses yang tanpa arah dan
"anarkis". Sudah barang tentu pembaharuan pendidikan di negara kita
di masa mendatang harus pula memperhitungkan aspek sekolah sebagai "a
mini society" ini. Perubahan pendidikan tidak berarti harus
mengambil salah satu teori pendidikan secara murni. Yang penting adalah
bagaimana perubahan pendidikan bisa membuahkan kebijaksanaan yang mengarahkan
agar pendidik bisa memanfaatkan variasi interaksi dan pengalaman riil yang
diperoleh anak didik di sekolah sebagai upaya untuk mencapai keberhasilan
pendidikan. Semoga guru-guru di Negeri ini mampu mengadaptasikan diri dalam
perkembangan dan kemajuan dunia pendidikan secara nasional, sehingga mampu
mensejajarkan bahkan terdepan dari kota-kota lainya.Dibutuhkan komitmen dan
konsisten bersama stakeholder pendidikan dengan segala tugas dan
tanggungjawabnya dilakukan dengan orientasi kedepan lebih baik dan lebih maju.
*) Penulis adalah
Edukator,Motivator,Trainer dan Penulis Buku.
***