Jumat, 16 Oktober 2015

GURU DITUNTUT MEMILIKI DAYA ADAPTASI





Guru harus mampu adaptasi terhadap perkembangan dunia pendidikan sesuai kemajuan jaman. Sebagai guru dituntut untuk tetap memiliki daya adaptasi terhadap perkembangan dunia pendidikan terkini, baik dalam masalah teknologi maupun pengetahuan lain. Kesadaran bahwa pendidikan harus senantiasa tanggap terhadap kemajuan jaman telah mendorong para ahli dan pengambil keputusan di bidang pendidikan untuk terus menerus mengadakan perubahan. Perubahan pendidikan secara langsung dimaksudkan untuk memcecahkan ketiga problema yaitu internal in-efficiency , external in-efficiency dan ketidakmerataan pendapatan. Secara tidak langsung perubahan - perubahan di sektor pendidikan yaitu perubahan struktur pendidikan dan kurikulum, baik dalam arti content dan instructional delivery system, merupakan upaya agar pendidikan menjadi agent of development yang canggih. Namun perubahan yang telah dilaksanakan tidak jarang mengandung kelemahan dan menuai kritik. Salah satu kritik dari Havelock dan Huberman ( 1977) dan World Bank ( 1980 ) yang ditujukan pada perubahan pendidikan dinegara berkembang termasuk Indonesia, menyatakan bahwa perubahan pendidikan yang dilakukan tidak dapat dipraktekkan karena keterbatasan pengetahuan pada tingkat pelaksana. Guru sebagai pelaksana harus bisa dengan segera mengadaptasikan diri dengan perubahan kurikulum 2013 yang sudah dicanangkan oleh Mendikbud.Guru-guru dikota besar mungkin tidak terlalu masalah ( mudah beradaptasi ), tapi bagaimana dengan guru-guru didaerah pelosok ?.Sebab pada hakekatnya perubahan pendidikan itu harus berdasarkan pada “ what is “, bukan pada “what ought to be”. Dalam setiap perubahan pendidikan guru memegang peran penting dan strategis, sebab merekalah yang merupakan pelaksana .Namun pengalaman di Indonesia menunjukkan guru lebih banyak dilihat sebagai obyek dalam perubahan kurikulum.Sehingga setiap kebijaksanaan lebih bersifat instruksi yang harus dipatuhi dan dilaksanakan dan tidak ada ruang bagi guru untuk berimprovisasi. Perencanaan dan kebijaksanaan nasional memang perlu, namun perlu dicatat bahwa pelaksana perubahan kurikulum pendidikan sangat tergantung pada semangat guru, rasa keterlibatan guru dan kesadaran yang tinggi bagi guru. Guru akan memberikan respon positif pada setiap perubahan yang akan dapat meningkatkan kemampuan profesional mereka dan memberikan ruang bagi mereka untuk berimprovisasi secara aktif dalam proses perubahan tersebut. Disamping apa yang dikemukakan diatas. Perubahan pendidikan di negara berkembang termasuk indonesia, jarang mengevaluasi dan mengembangkan aspek lain dari pendidikan formal diluar kurikulum dan kemampuan guru. Disamping aspek kurikulum dan kemampuan guru, maka sekolah mempunyai aspek lain yaitu aspek sosiologis sebab sekolah merupakan “ a mini society “. Sebagai suatu masyarakat kecil maka sekolah merupakan cermin dari masyarakat dimana sekolah itu berada. Dalam proses “transfer of culture “termasuk didalamnya proses pembentukan kepribadian, sikap,rasa dan juga intelektualitas sangat penting di sekolah.Dalam dunia pendidikan terdapat dua teori yang berkaitan dengan sekolah sebagaimana masyarakat kecil ini. Pertama ; sekolah tempat melatih dan mempersiapkan anak didik untuk terjun dalam kehidupan mereka di masa datang. Kedua : sekolah merupakan kehidupan riil anak didik itu sendiri, bukannya tempat mempersiapkan anak didik. “ School is not preparation for life, but life it self “ ( Dewey, 1944 ).Implikasi praktis dari teori pertama tersebut adalah bahwa anak didik dalam proses pendidikan diberlakukan sebagai obyek pendidikan.Mereka merupakan obyek yang tengah digembleng dan dicetak agar mampu mengarungi samudera kehidupan di masa depan. Mereka bukanlah subyek di dunia sekolah yang ada ini. Kemajuan yang pesat dibidang ilmu dan tehnologi menyebabkan perubahan-perubahan yang berlangsung sangat cepat dan sulit bisa diramalkan dengan tepat ( lihat Toffler 1974,1981 ). Oleh karena itu timbul pertanyaan, bagaimana mempersiapkan anak didik untuk mengarungi samudera kehidupan di kemudian hari itu sendiri bisa di prediksi ?.Teori kedua : menekankan hendaknya sekolah diselenggarakan sedemikian sehingga benar-benar merupakan kehidupan riil anak didik itu sendiri. Implikasinya dari teori ini adalah bahwa anak didik merupakan subyek dari proses pendidikan. Kehidupan sosial anak didik dalam masyarakat keci tersebut merupakan dasar dan sumber dari transformasi kehidupan. Peran paling penting dalam proses pendidikan bukanlah terletak pada materi pelajaran yang diberikan, melainkan pada aktifitas dan interaksi sosial anak didik itu sendiri.Peran guru menurut falsafah ini lebih banyak bersifat “ tut wuri handayani “, memberikan dorongan dan motivasi agar anak didik memapu memperluas kemampuan padangannya, untuk mengembangkan berbagai alternatif dan pengambilan keputusan dalam aktifitas kehidupan serta memperkuat kemauan untuk mendalami dan mengembangkan apa yang dipelajari dalam proses kehidupan itu.Namun perlu dipahami pula bahwa dengan menjadikan anak didik sebagai subyek dalam proses pendidikan tidak berarti sekolah bersifat “ value free “. Tetap saja sekolah lewat guru dan kurikulum akan menanamkan values, tetapi dengan cara “ value-fair “. Artinya dalam usaha menanamkan nilai-nilai, guru tidak akam memaksakan sesuatu nilai tertentu kepada anak didiknya. Melainkan guru melakukan usaha-usaha dengan berbagai cara atau metode berbagi alat bantu, agar anak didik akan membenarkan dan menerima nilai-nilai yang ia ajarkan, serta anak didik sendirilah yang menemukan dan mengadopsi nilai-nilai yang ditargetkan oleh sekolah untu ditanamkan pada anak didiknya. Banyak keberatan dari para ahli atas bentuk sekolah berdasarkan teori yang pertama. Keberatan yang terpenting adalah dengan menjadikan anak didik sebagai objek berarti pendidikan merupakan tindakan "mencomot" anak didik dari lingkungannya sendiri untuk dimasukkan ke dalam lingkungan yang lain yang belum tentu sesuai atau malahan asing bagi anak didik. Lingkungan baru itu bernama sekolah. Kalau anak didik tidak cocok dengan lingkungan baru, sebagai objek, anak didik tidak bisa berbuat apa-apa. Masalahnya akan menjadi rumit, kalau apa yang dilihat, diterima dan dihayati dalam lingkungan "mini society" ini tidak sama atau malahan bertentangan dengan apa yang ia lihat, terima dan hayati dari lingkungan yang lebih besar, yakni masyarakat. Akibat dari keadaan ini, tidak mengherankan kalau banyak anak didik yang mengikuti pelajaran di sekolah dengan setengah hati. Di fihak lain, lebih banyak para ahli yang keberatan dengan teori kedua. Keberatan pokoknya adalah berkisar pada kekhawatiran pendidikan akan menjadi proses yang tanpa arah dan "anarkis". Sudah barang tentu pembaharuan pendidikan di negara kita di masa mendatang harus pula memperhitungkan aspek sekolah sebagai "a mini society" ini. Perubahan pendidikan tidak berarti harus mengambil salah satu teori pendidikan secara murni. Yang penting adalah bagaimana perubahan pendidikan bisa membuahkan kebijaksanaan yang mengarahkan agar pendidik bisa memanfaatkan variasi interaksi dan pengalaman riil yang diperoleh anak didik di sekolah sebagai upaya untuk mencapai keberhasilan pendidikan. Semoga guru-guru di Negeri ini mampu mengadaptasikan diri dalam perkembangan dan kemajuan dunia pendidikan secara nasional, sehingga mampu mensejajarkan bahkan terdepan dari kota-kota lainya.Dibutuhkan komitmen dan konsisten bersama stakeholder pendidikan dengan segala tugas dan tanggungjawabnya dilakukan dengan orientasi kedepan lebih baik dan lebih maju.
*) Penulis adalah Edukator,Motivator,Trainer dan Penulis Buku.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LPJ BOS SMK Tahun Anggaran 2020

LPJ BOS SMK Tahun Anggaran 2020 User via SMS :  0857 5954 7892 FB :  https://web.facebook.com/iwan.kurniawanb Twitte...