Ketika
ditanya apa itu filsafat, seorang mahasiswa menjawab singkat: filsafat itu
mencari kebenaran. Dengan cara berpikir dan bertanya terus-menerus.Tentang
segala hal: dari persoalan gajah sampai persoalan semut, dari soal hukum dan
politik hingga soal moral dan metafisika,dari soal galaksi sampai soal bakteri.
Kalau begitu, berarti filsafat itu ada dimana-mana. Memang benar, filsafat ada
di Barat dan di Timur. Ada filsafat Yunani, filsafat India, filsafat Cina,
filsafat Kristen, dan juga filsafat Islam. Inilah makna filsafat sebagai
kearifan (sophia) dan pengetahuan (sapientia) yang dicapai
manusia dengan akal pikirannya.
Tiga
Istilah
Dalam
tradisi intelektual Islam, kita temukan tiga istilah yang umum untuk filsafat.
Pertama, istilah hikmah,yang tampaknya sengaja dipakaiagar
terkesan bahwa filsafat itu bukan barang asing, akan tetapi berasal dari dan
bermuara pada al-Qur’an. Al-‘Amiri, misalnya, menulis bahwa hikmah berasal dari
Allah, dan diantara manusia yang pertama dianugrahi hikmah oleh Allah ialah
Luqman al-Hakim. Disebutnya ketujuh filsuf Yunani kuno itu sebagai ahli hikmah
(al-hukama’ as-sab‘ah)–yakni Thales, Solon, Pittacus, Bias, Cleobulus, Myson
dan Chilon.
Demikian
pula al-Kindi, yang menerangkan bahwa ‘falsafah’ itu artinya hubb al-hikmah
(cinta pada kearifan). Sementara Ibn Sina menyatakan bahwa: hikmah adalah
kesempurnaan jiwa manusia tatkala berhasil menangkap makna segala sesuatu dan mampu
menyatakan kebenaran dengan pikiran dan perbuatannya sebatas kemampuannya
sebagai manusia (istikmal an-nafs al-insaniyyah bi tashawwur al-umur wa
t-tashdiq bi l-haqa’iq an-nazhariyyah wa l-‘amaliyyah ‘ala qadri thaqat
al-insan). Siapa berhasil menggapai ‘hikmah’ sedemikian makaiatelah
mendapat anugerah kebaikan berlimpah, ujar Ibn Sina.
Sudah
barang tentu tidak semua orang setuju dengan istilah ini. Imam al-Ghazali
termasuk yang menentangnya. Menurut beliau, lafaz ‘hikmah’ telah dikorupsi
untuk kepentingan filsuf, karena ‘hikmah’ yang dimaksud dalam kitab suci
al-Qur’an itu bukan filsafat, melainkan Syari‘at Islam yang diturunkan Allah
kepada para nabi dan rasul.
Yang
kedua adalah istilah falsafah, yang diserap ke dalam kosakata
Arab melalui terjemahan karya-karya Yunani kuno. Definisinya diberikan oleh
al-Kindi: filsafat adalah ilmu yang mempelajari hakikat segala sesuatu sebatas
kemampuan manusia. Filsafat teoritis mencari kebenaran, manakala filsafat
praktis mengarahkan pelakunya agar ikut kebenaran. Berfilsafat itu berusaha
meniru perilaku Tuhan. Filsafat merupakan usaha manusia mengenal dirinya.
Demikian tulis al-Kindi.
Sekelompok
cendekiawan bernama‘Ikhwan as-Shafa’ menambahkan: ‘Filsafat itu berangkat
darirasaingin tahu. Adapun puncaknya adalah berkata dan berbuat sesuai dengan
apa yang anda tahu (al-falsafah awwaluha mahabbatul-‘ulum … wa akhiruha
al-qawl wal-‘amal bi-ma yuwafiqul-‘ilm)’.
Ketiga,
istilah ‘ulum al-awa’il yang artinya ‘ilmu-ilmu orang zaman
dulu’. Yaitu ilmu-ilmu yang berasal dari peradaban kuno pra-Islam seperti
India, Persia, Yunani dan Romawi. Termasuk diantaranya ilmu logika, matematika,
astronomi, fisika, biologi, kedokteran, dan sebagainya.
Tiga
Perspektif
Terdapat beberapa pandangan mengenai matriks filsafat Islam. Pandangan pertamadipegang oleh mayoritas orientalis. Filsafat Islam adalah kelanjutan dari filsafat Yunani kuno: ‘It is Greek philosophy in Arabic garb’, demikian kata Renan, Gutas, dan Adamsonyang lebih suka menyebutnya sebagai ‘filsafat [berbahasa] Arab’ (Arabic Philosophy).Dibalik pandangan ini terselip rasisme intelektual bahwa filsafat itu murni produk Yunani dan karenanya kaum Muslim sekadar mengambil danmemelihara untuk diwariskan kepada generasi sesudah mereka. Memang, dalam literatur sejarah filsafat dunia, peran dan kedudukan filsafat Islam seringkali dimarginalkan dan direduksi, atau bahkan diabaikan sama sekali. Mulai dari Hegel sampai Coplestone dan Russell, filsafat Islam hanya dibahas sambil lalu,sebagai “jembatan peradaban” (Kulturvermittler)dari Zaman Kegelapan ke Zaman Pencerahan.
Terdapat beberapa pandangan mengenai matriks filsafat Islam. Pandangan pertamadipegang oleh mayoritas orientalis. Filsafat Islam adalah kelanjutan dari filsafat Yunani kuno: ‘It is Greek philosophy in Arabic garb’, demikian kata Renan, Gutas, dan Adamsonyang lebih suka menyebutnya sebagai ‘filsafat [berbahasa] Arab’ (Arabic Philosophy).Dibalik pandangan ini terselip rasisme intelektual bahwa filsafat itu murni produk Yunani dan karenanya kaum Muslim sekadar mengambil danmemelihara untuk diwariskan kepada generasi sesudah mereka. Memang, dalam literatur sejarah filsafat dunia, peran dan kedudukan filsafat Islam seringkali dimarginalkan dan direduksi, atau bahkan diabaikan sama sekali. Mulai dari Hegel sampai Coplestone dan Russell, filsafat Islam hanya dibahas sambil lalu,sebagai “jembatan peradaban” (Kulturvermittler)dari Zaman Kegelapan ke Zaman Pencerahan.
Pandangan
kedua menganggap filsafat Islam itu reaksi terhadap doktrin-doktrin agama lain
yang telah berkembang pada masa lalu. Para pemikir Muslim dituduh telah
mencomot dan terpengaruh oleh tradisiYahudi-Kristen. Pendapat ini diwakili
Rahib Maimonides: “Ketahuilah olehmu bahwa semua yang dilontarkan oleh orang
Islam dari golongan Mu‘tazilah maupun Asy‘ariyah mengenai masalah-masalah ini
berasas pada sejumlah proposisi-proposisi yang diambil dari buku-buku orang
Yunani dan Syria yang ditulis untuk menyanggah para filosof dan mematahkan
argumen-argumen mereka.”
Dua
sudut pandang tersebut di atas dikritik tajam antara lain oleh Seyyed Hossein
Nasr. Orientalis yang menganut perspektif Greco-Arabic biasanya mengkaji
filsafat Islam sebagai barang purbakala atau artifak museum, sehingga
pendekatannya melulu historis dan filologis. Di mata orientalis semisal Van den
Bergh, Walzer dan Gutas, filsafat Islam itu ibarat sesosok mummi yang hidup
antara abad ke-9 hingga ke-12 Masehi. Akibatnya, lanjut Nasr, para orientalis
itu tidak tahu dan tak peduli akan fakta filsafat Islam sebagai kegiatan
intelektual yang terus hidup dari dahulu sampai sekarang: Islamic philosophy
has remained a major intellectual activity and a living intelllectual tradition
within the citadel of Islam to this day, di pusat-pusat keilmuan di Dunia
Islam.
Yang
ketiga adalah perspektif revisionis yang memandang filsafat Islam itu lahir
dari kegiatan intelektual selama berabad-abad semenjak kurun pertama Islam.
Bukankah perbincangan tentang kemahakuasaan dan keadilan Tuhan,tentang hakikat
kebebasan dan tanggung-jawab manusia merupakan cikal bakal tumbuhnya filsafat?
Munculnya kelompok Khawarij, Syi‘ah,Mu‘tazilah dan lain-lain,yang
melontarkan pelbagai argumen rasional disamping merujuk kepada ayat-ayat
al-Qur’an jelas sekali mendorong berkembangnya pemikiran filsafat dalam Islam.
Contohnya sepucuk surat dari al-Hasan al-Basri kepada Khalifah perihal qadha
dan qadar, dimana beliau menangkis argumen kaum fatalis maupun argumen
rasionalis sekular. Perdebatan seru segera menyusul di abad-abad berikutnya
seputar kedudukan logika, masalah atom, ruang hampa, masa, dan yang tak
terhingga dalam hubungannya dengan kewujudan Tuhan serta keazalian dan
keabadian alam semesta.
Pandangan
revisionis ini diwakili antara lain oleh M.M. Sharif, Oliver Leaman, dan
Alparslan Açıkgenç. Filsafat Islam tidak bermula dengan al-Kindi dan berhenti
dengan kematian Ibnu Rusyd. Sebagai produk dialektika unsur-unsur internal Umat
Islam itu sendiri, bangunan filsafat Islam dapat ditemukan fondasinya dalam
kitab suci al-Qur’an yang menduduki posisi sentral dalam kehidupan
spiritual-intelektual kaum Muslim. Bagi Oliver Leaman,filsafat Islam adalah
nama generik keseluruhan pemikiran yang lahir dan berkembang dalam lingkup
peradaban Islam, terlepas apakah mereka yang punya andil berbangsa Arab ataupun
non-Arab, Muslim ataupun non-Muslim, hidup di Timur Tengah ataupun
bukan,berbahasa Arab, Parsi, Ibrani, Turki, ataupun Melayu sebagai mediumnya,
sejak zaman dulu sampai sekarang ini. Leaman mencermati adanya cara pandang
Islami yang membingkai itu semua (framed within the language of Islam,
within the cultural context of Islamic society). Artinya, filsafat Islam
itu luas dan kaya.
Corak
Filsafat
Masih
menurut Oliver Leaman, filsafat Islam itu sangat filosofis dalam arti logis-
analitis,terus hidup dan penuh gejolak, tidak sekadar melanjutkan tradisi
sebelumnya, akan tetapi juga memperlihatkan terobosan-terobosan kreatif dalam
menjawab persoalan-persoalan klasik maupun modern: MuchIslamic philosophy, like
much philosophy of any kind, is just the accretion of new technical
representaions of existing issues …. new traditions of thinking about problems
and resolving difficult conceptual issues(Lihat: History of Islamic Philosophy,
London: Routledge, 1996, hlm. 1-10).
Pernyataan
serupa diutarakan oleh pakar-pakar filsafat dari Mesir seperti Ibrahim Madkour,
Musthafa ‘Abdur Raziq, dan Syekh ‘Abdul Halim Mahmud. Filsafat Islam itu
‘Islami’ dari empat segi: pertama, dari sisi masalah-masalah yang dibahas;
kedua, dari aspek konteks sosio-kulturalnya; ketiga, dari sudut faktor-faktor
pemicu serta tujuan-tujuannya; dan keempat, dari kenyataan bahwa para pelakunya
hidup di bawah naungan kekuasaan Islam (Lihat: I. Madkour, al-Falsafah
al-Islamiyyah: Manhaj wa tathbiquhu, hlm.19).
Memang,
jika ditelusuri dan diteliti karya-karyanya, para filsuf Muslim bukan
semata-mata membeo atau sekadar mereproduksi apa yang mereka pelajari dari ahli
pikir Yunani kuno. Mereka tidak pasif-reseptif, tidak menerima bulat-bulat atau
menelan mentah-mentah tanpa resistensi dan sikap kritis. Sebaliknya, para
pemikir Muslim semisal Ibn Sina, al-Baghdadi dan ar-Razi mengupas dan mengurai,
melakukan analisis dan elaborasi, menjelaskan dan menyanggah, melontarkan
kritik, memodifikasi dan menyaring, mengukuhkan dan menambahkan, memperkenalkan
konsep-konsep baru, atau menyuntikkan makna baru pada istilah-istilah yang
sudah ada, dan menawarkan solusi-solusi baru untuk persoalan-persoalan
perennial dalam filsafat.
Selain
berhasil menelurkan sintesis cemerlang dan membangun sistem pemikiran
tersendiri, para filsuf Muslim terutama berhasil mengakomodasi khazanah
keilmuan Yunani kuno dalam kerangka pandangan hidup (Weltanschauung)
Islam. Dengan kata lain, mereka berupaya mengislamkannya. Maka yang terjadi
adalah islamisasi filsafat secara negatif (pengenyahan unsur-unsur kufur) dan
positif (pemasukan unsur-unsur Islami).
Kontroversi
Filsafat Islam
Kendati termasuk bagian dari tradisi intelektual Islam, tidak sedikit yang antipati terhadap filsafat –bukan (i) sebagai sikap mental, proses nalar dan kearifan, melainkan filsafat (ii) sebagai ‘barang impor’ yang mengandung unsur-unsur atheisme, sekularisme, relativisme, pluralisme, danliberalisme. Filsafat dalam pengertian kedua (ii) inilah yang ditolak oleh para ulama Muslim, yaitu filsafat yang menggiring pelakunya kepada sikap anti-Tuhan dan anti-agama, mendewakanakal, melecehkanNabi, dansebagainya.
Kendati termasuk bagian dari tradisi intelektual Islam, tidak sedikit yang antipati terhadap filsafat –bukan (i) sebagai sikap mental, proses nalar dan kearifan, melainkan filsafat (ii) sebagai ‘barang impor’ yang mengandung unsur-unsur atheisme, sekularisme, relativisme, pluralisme, danliberalisme. Filsafat dalam pengertian kedua (ii) inilah yang ditolak oleh para ulama Muslim, yaitu filsafat yang menggiring pelakunya kepada sikap anti-Tuhan dan anti-agama, mendewakanakal, melecehkanNabi, dansebagainya.
Di
abad kelima Hijriyah, Imam al-Ghazali melepaskan pukulan keras terhadap filsafat
dalam karyanya Tahafut al-Falasifah, dimana beliau menganggap kufur tiga
doktrin filsafat: pertama, keyakinan filosof bahwa alam ini kekal; kedua,
pernyataan mereka bahwa Tuhan tidak mengetahui perkara-perkara detil; dan
ketiga, pengingkaran mereka terhadap kebangkitan jasad di hari qiyamat. Fatwa
yang begitu keras melarang pengajaran filsafat juga dikeluarkan oleh Ibn
as-Sholah: ‘Filsafat adalah pangkal kebodohan dan penyelewengan, kebingungan
dan kesesatan. Siapa yang berfilsafat, maka butalah hatinya akan keutamaan
Syari‘ah suci yang ditopang dalil-dalil dan bukti-bukti yang jelas. Siapa
mempelajarinya akan bersama kehinaan, tertutup dari kebenaran, dan terpedaya
oleh setan.’
Adapun
filsafat dalam pengertian pertama, dengan tujuan ganda membenarkan yang benar (ihqaq
al-haqq) dan membatalkan yang batil (ibthal al-bathil) secara
rasional, persuasif dan elegan, maka bisa dikategorikan fardu kifayah. Seperti
rasa ingin tahu Nabi Ibrahim yang mendorongnya bertanya bagaimana Allah
menghidupkan orang mati. Allah balik bertanya, “Apakah engkau belum percaya?”
Nabi Ibrahim menjawab, “Aku percaya, akan tetapi[akubertanya] supaya hatiku
tentram (mantap).” Jadi, filsafat itu untuk mengokohkan kebenaran sekaligus
menghapus keraguan. (****)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar