“Tidak ada
perbedaan antara perempuan dan laki-laki dari sisi kemanusiaan. Karena
perempuan sebagaimana laki-laki memiliki hak yang sama dalam menentukan masa
depannya. Adapun perbedaan yang ada diantara keduanya, tidak mengurangi sisi
kemanusiaan itu sendiri” Sahifah Nur Jilid 3 hal. 49, Pendahuluan
Tuhan menciptakan manusia dengan dibekali kekuatan akal
serta diiringi kesucian wahyu untuk mencapai kesempurnaan. Di alam ‘azali
manusiapun berikrar menjadi khalifah Tuhan di muka bumi. Manusia bersedia
mengemban amanat suci langit untuk menebarkan kebaikan serta mencegah
kemungkaran di dunia. Sebuah amanat yang tak sanggup diemban oleh makhluk mana
pun. Maka, manusia memiliki konsekuensi untuk membangun diri serta
lingkungannya, baik pada lingkup keluarga maupun masyarakat secara luas.
Demikian halnya dengan perempuan sebagai salah satu
misdaq manusia, tak dapat lepas dari amanat tersebut. Perempuan, sebagaimana
laki-laki memiliki tanggung jawab terhadap diri dan masyarakatnya. Dari
sinilah, muncul ada tiga peran utama yang dimiliki oleh perempuan. Pertama,
peran yang terkait dengan kehidupan individu, yaitu hubungan transendental
manusia dengan Tuhannya. Kedua, peran perempuan dalam kehidupan keluarga baik
sebagai istri maupun ibu dari anak-anaknya. Ketiga, peran perempuan di
masyarakat.
Peran terakhir ini, memunculkan dua tesis berseberangan.
Di satu sisi, ada sebagian kelompok yang sama sekali menolak keterlibatan
perempuan di ranah publik. Kekhawatiran yang kerap kali dimunculkan adalah
terjadinya fitnah serta kekacauan peran. Di sisi lain, tak sedikit kalangan
yang memberikan kebebasan seluas-luasnya untuk terjun di masyarakat tanpa
adanya pembatasan. Pendapat ini muncul sebagai reaksi terhadap kelompok
pertama. Lantas, adakah jalan ketiga? Bagaimana sebenarnya posisi perempuan di
dalam masyarakat?
Nampaknya, pertanyaan ini tidak sederhana. Di dalam
koridor agama sendiri, persoalan ini memerlukan kajian mendalam melalui
penggalian sumber-sumber hukum otentik. Tidak sedikit kalangan agamawan yang
mencoba memberikan solusi. Alih-alih memberikan solusi, malah sebaliknya
menambah kerumitan persoalan. Maka, mengikuti kelaziman, mempercayakan
persoalan ini kepada nara sumber yang memiliki kapasitas dalam menguraikan
kerumitan sumber hukum, didukung sikap jujur terhadap pandangannya.
Imam Khomeini (ra) adalah salah satu sosok yang layak
untuk diangkat. Tidak sedikit pernyataan beliau berkaitan dengan persoalan
perempuan, baik yang disampaikan dalam berbagai kongres perempuan, hari ibu
ataupun pertemuan-pertemuan lainnya. Dengan mengamati berbagai pernyataan Imam
tersebut, kita akan mencoba memahami bagaimana sebenarnya pemikiran Imam,
terutama berkaitan dengan peran perempuan di masyarakat.
Imam Khomeini dan Konsep Dasar
Perempuan
Secara umum, ada dua hal menarik yang dapat dikaji dari
pandangan Imam Khomeini berkenaan dengan konsep dasar perempuan.[1] Pertama,
sisi persamaan, Imam memandang adanya persamaan antara perempuan dan laki-laki
dari sisi esensi kemanusiaan (huviyat ensoni). Perempuan sebagaimana laki-laki,
dibedakan dari berbagai makhluk Tuhan lainnya seperti tumbuhan, hewan dan
malaikat. Mereka diciptakan dari unsur yang satu (nafs) serta memiliki amanat
serupa, yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Imam Khomeini
dalam salah satu pernyataannya menyebutkan:
“Tidak ada perbedaan antara perempuan dan laki-laki dari
sisi kemanusiaan. Karena perempuan sebagaimana laki-laki memiliki hak yang sama
dalam menentukan masa depannya. Adapun perbedaan yang ada di antara keduanya,
tidak mengurangi sisi kemanusiaan itu sendiri”.[2]
Pandangan Imam ini, seiring dengan apa yang diisyaratkan
Tuhan di dalam al-Qur’an. Tuhan menyebutkan persamaan perempuan dan laki-laki
setidaknya pada dua level, asal mula penciptaan serta kewajiban menjalankan
perintah, taklif. Sebagaimana dijelaskan dalam (QS. 33:35):
“Sungguh, laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan
perempuan mukmin, laki-laki dan perempuan taat, laki-laki dan perempuan yang
benar, laki-laki dan perempuan yang sabar dan tabah (dalam kebajikan),
laki-laki dan perempuan yang sederhana, laki-laki perempuan yang memberi
sedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang
memelihara (kesopanan mereka), laki-laki dan perempuan yang banyak mengingat
Allah, bagi mereka Allah menyediakan ampunan dan pahala yang besar”[3]
Kedua, di samping sisi persamaan, Imam juga berpendapat
bahwa terdapat perbedaan antara perempuan dan laki-laki dari sisi gender
(jinsiyyat). Perbedaan ini memiliki konsekuensi adanya pembagian peran di
antara perempuan dan laki-laki. Dengan pembagian ini, tidak berarti memperlemah
posisi masing-masing, justru dapat saling memberikan kontribusi. Maka, di
sinilah urgensi adanya konsep keluarga dalam Islam.
Perempuan pada sisi ini, memiliki karakteristik khusus
yang tidak dimiliki laki-laki, sebaliknya laki-laki juga demikian. Salah satu
sifat yang menjadi ciri khas perempuan adalah kasih sayang serta kelembutan.
Menurut Imam, sifat ini merupakan potensi luar biasa untuk mengantarkan
masyarakat pada harkat dan martabatnya yang agung. Imam menyebutkan:
“Kasih sayang yang ada pada perempuan, merupakan
kekhususan yang dimiliki oleh mereka dan tidak ada pada laki-laki. Maka, apa
yang dilakukan di belakang layar oleh perempuan bisa jadi lebih berharga
ketimbang yang dilakukan laki-laki…..”[4]
Dua konsep di atas, yaitu sisi persamaan serta perbedaan
merupakan acuan dasar dalam memahami pandangan Imam Khomeini, terutama yang
berkaitan dengan peran perempuan di masyarakat.
Peran Perempuan di Masyarakat:
Perspektif Imam Khomeini
Manusia terlahir sebagai makhluk sosial. Kebutuhan yang
mengiringinya tak hanya sebatas makan, minum serta kebutuhan biologis lainnya.
Kasih sayang, berbagi dan bermasyarakat menjadi bagian yang lekat pada fitrah
manusia. Maka, dalam konteks ini manusia memiliki peran ganda, individu maupun
sosial. Perempuan sebagai bagian dari manusia tentu saja memiliki peran serupa.
Di dalam al-Qur’an, persoalan ini secara jelas telah
disinggung, misalnya di dalam surat an-Nur ayat 62. Menurut sebagian
Mufassir[5], ayat ini berhubungan dengan tugas sosial manusia, baik laki-laki
maupun perempuan. Di samping itu, lebih khusus al-Qur’an juga berbicara tentang
keterlibatan perempuan di masyarakat :
“Wahai Nabi, apabila datang kepdamu perempuan-perempuan
yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan
mempersekutukan sesuatupun dengan Allah……..dan terimalah janji setia mereka dan
mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”[6]
Tidak hanya berupa seruan teks, Nabi Muhammad saww secara
langsung mengajarkan bagaimana menempatkan posisi perempuan dalam kehidupan
bermasyarakat. Tidak sedikit tokoh perempuan yang kemudian bergerak di
bidangnya. Misalnya, ada Ummu Khair yang bergelar oratur ulung Shiffin, Ummu
Khalid perawi hadits terkemuka dan ada pula seorang pejuang pemberani, Umaymah
dari kabilah al-Ghiffari serta masih banyak nama-nama lainnya.[7] Lebih dari
itu, nama Fathimah as dan Zainab as merupakan penghulu dalam berbagai bidang.
Di sinilah, penelusuran pandangan Imam Khomeini menemukan
relevansinya. Imam, sebagai sosok yang berupaya meneladani sifat serta perilaku
Nabi saww, menyerap pesan yang digulirkan oleh Rasulullah saww serta manusia
suci lainnya dalam berbagai aspek, termasuk persoalan seputar perempuan. Menurut
Imam Khomeini, keberadaan perempuan memiliki andil besar dalam membangun sebuah
masyarakat, baik secara fisik maupun spiritual. Imam Khomaini menjelaskan :
“Dalam Pandangan Islam, wanita memiliki peranan penting
untuk membangun sebuah masyarakat. Islam menjunjung tinggi wanita serta
memposisikan kembali kemanusiaannya di tengah masyarakat…..”[8]
Apakah maksud Imam dengan “memposisikan kembali
kemanusiaan perempuan?” Pada pernyataan Imam lainnya, terkandung penafsiran
bahwa perempuan berhak memperoleh keadilan peran dalam melakukan aktivitas di
tengah masyarakat. Perempuan dapat berdampingan dengan laki-laki sebagaimana
kesatuan sistem yang saling berhubungan dan melengkapi satu sama lain.
Masing-masing tidak boleh saling merendahkan.
“Dalam undang-undang Islam, wanita (sebagai manusia)
dapat ikut serta secara aktif untuk membangun sebuah masyarakat, mereka
berdampingan dengan pria. Wanita tidak boleh turun dalam kedudukannya pada
tingkat yang lebih rendah. Demikian halnya pria juga tidak boleh memandangnya
secara rendah pula”[9]
Lebih jauh, tawaran Imam khomeini berkenaan dengan peran
perempuan ini, dapat diturunkan ke dalam beberapa bidang seperti pendidikan,
politik dan ekonomi. Sebagaimana dalam pernyataannya:
“Kami merasa bangga bahwa perempuan tua, muda, besar,
kecil berperan aktif pada bidang budaya, ekonomi serta keamanan setara dengan
laki-laki bahkan lebih baik di jalan Islam seiring dengan tujuan Qur’an.”[10]
Peran dalam Pendidikan
Ada beberapa hal menarik yang dikemukakan Imam sehubungan
dengan peran perempuan dalam pendidikan.
Pertama, tujuan dari sebuah proses pendidikan adalah
mengantarkan manusia pada derajat ketakwaan. Sebagaimana seruannya:“Berusahalah
untuk memperoleh ilmu dan takwa”. Dalam redaksi lain, Imam juga menekankan
bahwa pendidikan harus mengantarkan manusia tidak hanya pada sisi materi,
tetapi juga kebahagiaan hakiki.
Kedua, Imam memandang bahwa pendidikan merupakan hak bagi
setiap orang, baik perempuan maupun laki-laki. Imam di sini menekankan adanya
kesetaraan pendidikan. “Perempuan kini, seperti halnya laki-laki, hendaklah
terlibat dalam berbagai bidang serta memasuki bidang secara tepat seperti
belajar dan mengajar”[11]
Ketiga, pendidikan menurut Imam Khomeini dapat bermakna
luas, yaitu mendidik masyarakat maupun mendidik anggota keluarga. Dalam konteks
ini, perempuan diperbolehkan bahkan sangat disarankan untuk terlibat dalam
proses belajar-mengajar di luar lingkup keluarga, baik formal maupun non
formal. Baik sebagai pengajar resmi di sebuah instansi, ataupun sebagai
mubaligh di berbagai daerah.
Keempat, dalam pandangan Imam Khomeini, proses pendidikan
haruslah berkesinambungan.
“Saya berharap kepada para pendidik dan pengajar, baik
pria maupun wanita, di manapun mereka berada, demikian juga pada kalangan
akademis serta ulama, agar mereka menganggap sebagai pelajar dan pengajar pada
saat yang sama”.[12]
Kelima, jenis pendidikan apapun yang tengah dijalani,
dilakukan secara profesional. Di sini, ukuran yang digunakan bukan lagi gender.
Tetapi kapasitas serta kapabilitas. “Jika kalian mengemban tanggung jawab
pendidikan….maka kalian harus mendidik mereka dengan baik….Hendaklah setiap
kelompok masyarakat di manapun mereka berada menjalankan tugasnya sebaik
mungkin”.[13]
Catatan menarik lainnya yang disampaikan oleh Imam
Khomeini adalah bahwa keterlbatan perempuan dalam bidang pendidikan, tidak
hanya terbatas pada mempelajari ilmu-ilmu agama. Tetapi, perempuan juga dapat
mendalami berbagai disiplin ilmu lainnya, seperti teknologi, kedokteran, ilmu
sosial serta seni dan budaya.
Peran dalam Politik dan Ekonomi
Imam Khomeini memandang, persoalan politik tidak hanya
hegemoni laki-laki, perempuan pun bisa terlibat didalamnya. Seperti dalam
pernyataannya :
“Persoalan politik tidak hanya milik kelompok tertentu,
seperti halnya ilmu juga tidak dikhususkan untuk golongan tertentu. Jika
laki-laki terlibat dalam persoalan politik serta menjaga masyarakatnya, maka
hendaknya perempuan juga setara dengan laki-laki dalam aktivitas sosial
kemasyarakatan dan politik.[14]
Lingkup politik yang dimaksud, mencakup pula peran
langsung dalam lembaga eksekutif, legislatif maupun partisipasi dalam pemilu.
Menurut Imam Khomeini, keterlibatan perempuan dalam keputusan politik merupakan
hak natural. Dalam salah satu pernyataannya Imam meyebutkan:
“Wanita memiliki hak untuk memilih. Kita meyakini hak-hak
ini lebih dari yang diyakini Barat….Wanita memiliki hak untuk menyampaikan
pendapat, memilih serta dipilih ”[15]
Tampaknya, ada empat pandangan penting Imam Khomeini
terhadap aktivitas politik perempuan.
Pertama, gerakan politik perempuan memiliki peran penting
dalam melakukan sebuah perubahan. (bangsa yang melibatkan perempuan dalam
demonstrasi akan memperoleh kemenangan). Kedua, Perempuan sebagaimana
laki-laki, hendaknya bertanggung jawab terhadap berlangsungnya sebuah tatanan
pemerintah yang adil. Ketiga, perempuan memiliki hak untuk ikut serta dalam
keputusan politik. Keempat, keterlibatan politik perempuan merupakan sebuah
keharusan agama dan budaya.[16]
Sedangkan di bidang ekonomi, perempuan juga dapat
berkiprah dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga dan masyarakat melalui
kerja. Pekerjaan yang dilakukan perempuan dapat dikategorikan ke dalam dua
bentuk, pekerjaan di dalam rumah dan di luar rumah.
Menurut Imam Khomeini, perempuan dapat memilih pekerjaan
yang layak baginya baik di dalam maupun di luar rumah. Imam menyebutkan:
“Mengapa kita menentang pendidikan bagi perempuan?
Mengapa kita tidak sepakat dengan perempuan yang bekerja? Mengapa perempuan
tidak diperbolehkan melakukan pekerjaan di lingkup pemerintahan? Mengapa kita
menolak perempuan untuk bepergian? Perempuan sebagaimana laki-laki memiliki hak
memilih, tidak ada bedanya dengan laki-laki”.[17]
Batasan Aktivitas di Masyarakat
Menurut pandangan Imam Khomeini, adakah batasan serta
ketentuan perempuan dalam melakukan aktivitas di masyarakat? Jika ada, sejauh
mana batasan tersebut? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita akan menilik
pendapat Imam pada beragam aspek. Imam khomeini, pada kesempatan lain
menekankan urgensi kehadiran perempuan di tengah keluarga.
“Jika anak dijauhkan dari pangkuan ibunya, maka ia akan
tumbuh menjadi anak yang membuat masalah bagi orang lain di mana pun ia berada.
Dan jika ia tumbuh sebagai anak yang membuat masalah, ia akan membawa banyak kerusakan.
Sesungguhnya banyak tindakan kriminal yang diakibatkan oleh problem ini yang
terdapat pada anak-anak”.[18]
Dari pernyataan di atas, jelaslah bahwa perempuan
memiliki pengaruh besar dalam menentukan perkembangan serta masa depan
anak-anak. Maka, kehadirannya di tengah keluarga menjadi sedemikian penting.
Nampaknya, sepintas lalu terlihat adanya kontradiksi antara pendapat Imam yang
mendukung aktivitas di masyarakat dengan pendapat yang menekankan pentingnya
peran di dalam keluarga. Barangkali dengan menyimak penjelasan Imam lainnya,
kita akan mendapat pemahaman yang lebih holistik.
“Berusahalah kalian dengan sungguh-sungguh untuk menjadi
ibu yang baik bagi anak-anak kalian dan menjadi penasehat baik bagi masyarakat
serta bantulah orang yang memerlukan pertolongan dari kalangan
mustadh’afin…..”.[19]
Maka, dapat ditarik benang merah bahwa urgensi perempuan
di dalam keluarga, tidak menghalangi perempuan untuk berkiprah di tengah
masyarakat. Bahkan, keduanya dapat saling beriringan. Kualitas interaksi dengan
anak, kecermatan membaca situasi dan kondisi adalah di antara faktor katalis
yang dapat merekatkan dua tesis di atas.
Persoalan lain, yang masih menyisakan tanda tanya besar
adalah, bagaimana ketentuan hubungan antara perempuan dan laki-laki yang bukan
muhrim? Apakah tidak akan menimbulkan fitnah? Mekanisme hubungan yang sehat ini
tentu saja dapat terjalin dengan pemahaman kedua belah pihak, baik laki-laki
maupun perempuan, misalnya dengan konsep “menjaga pandangan”. Di samping itu,
bagi perempuan diwajibkan untuk mengenakan hijab secara sempurna. Imam
menyebutkan:“Wanita-wanita bebas memilih pekerjaan dan masa depan mereka,
demikian juga jenis pakaian dengan tetap menjaga tolak ukur Islami”[20]
Penutup
Tidak dapat dipungkiri, keterlibatan perempuan di
masyarakat memberikan kontribusi besar dalam membangun sebuah masyarakat dan
bangsa. Perempuan yang memilih berperan secara langsung di masyarakat tidak
lantas terbebas dari berbagai ketentuan agama. Islam, memiliki seperangkat
etika untuk mengontrol perilaku manusia, secara individu maupun masyarakat.
Etika bermasyarakat yang diserukan di dalam Islam di
antaranya: Pertama, mengindahkan norma pergaulan lawan jenis. Kedua, mengenakan
pakaian sesuai ketentuan syari’ah. Ketiga, cerdas dalam menentukan prioritas
baik waktu maupun keserasian aktivitas, sehingga terjadi keseimbangan antara
peran di dalam keluarga dan di tengah masyarakat. Akhirnya, aktivitas apapun
yang disumbangkan oleh anak manusia, laki-laki maupun perempuan tidak lepas
dari tujuan utama penciptaan manusia yaitu menyampaikan diri dan masyarakatnya
pada kesempurnaan hakiki. Wallahu’alam.[]
——————————————————————————–
[1] Lebih jauh pandangan Imam Khomeini tentang sisi
persamaan dan perbedaan ini, dapat dilihat dalam buku Imam Khomeini va Ulguhoye
Din Shenosi Dar Mas’ale-ye Zanon, karya Ziya, Mortazavi hal. 38-50
[2] Al-Khomeini, Ruhullah, Sahifah Nur, jilid 3 hal. 49
[3] Ayat lain yang menjelaskan tentang penciptaan manusia
(Q.S. 49:13), (Q.S. 7:89). Sedang ayat yang menjelaskan persamaan taklif (Q.S.
3:195 ), (Q.S. 4: 124), (Q.S. 16:97).
[4] Al-Khomeini, Ruhullah, opcit, jilid 14 hal. 23.
[5] Salah satunya adalah Ayatulah Javadi Amuli.
[6] Terjemahan Departeman Agama (Q.S. 60:12)
[7] Penjelasan lebih lanjut bisa dirujuk pada buku Zan
dar Oyene Jamol va Kamol karya Ayatulah Javadi Amuli hal. 304-323. Bandingkan
juga dengan pendapat Mehdi Mehrizi dalam bukunya Zan dar Andisye Eslam dimuat
dalam Jurnal Banuwone Syi’ah hal. 147-148.
[8] Disampaikan oleh Imam pada pertemuan dengan Lembaga
Amnesti Iternasional, selengkapnya dapat dirujuk pada buku Makoanah al-Mar’ah
fi fikr al-Imam al-Khomeini edisi terjemahan hal. 92.
[9] Ibid hal. 91.
[10] Al-Khomeini, Ruhullah, opcit, jilid 21, hal. 379.
[11] Al-Khomeini, Ruhullah, Tahrirul Wasilah, jilid I
hal. 486.
[12] Makanah al-Mar’ah fi fikr al-Iam al-Khomeini, edisi
terjemahan hal.100.
[13] Ibid hal. 99.
[14] Al-Khomeini, Ruhullah, Shahifah Nur, jilid 18, hal.
403.
[15] Makanah al-Mar’ah fi fikr al-Iam al-Khomeini, edisi
terjemahan hal. 96.
[16] Ilham Bagir, Perempuan Dunia Islam, Makalah Terpilih
Seminar ke-3, hal.75.
[17] Al-Khomeini, Ruhullah, opcit,jilid 4, hal.103-104.
[18] Makanah al-Mar’ah fi fikr al-Iam al-Khomein,i edisi
terjemahan hal. 164.
[19] Ibid hal. 160.
[20] Ibid hal. 116 . Adapun tolak ukur Islam yang
dimaksud adalah menjaga hijab sebagaimana dalam pernyataan Imam “Wanita yang
berdandan secara mencolok tidak boleh bekerja di kantor-kantor Islam, wanita
boleh bekerja, asalkan ia tetap menggunakan hijab…… ”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar