==( Mengenalkan Esensi Tuhan kepada Anak )==
“Dan Dia bersama Kalian dimanapun kalian berada” (QS
al-Hadid : 4)
“Katakan (wahai Muhamad): Tuhan itu Esa.” (QS al-Ikhlas :
1)
Rasa ingin tahu (hubbul istithla’) adalah merupakan salah
satu fitrah manusia. Artinya manusia terlahir dengan memiliki salah satu ciri
khas fitrah tersebut. Rasa ingin tahu akan sekelilinganya dan segala sesuatu
yang dilihatnya. Rasa ingin tahu tersebut akan mencapai puncaknya sewaktu masa
kanak-kanak. Hal ini wajar dikarenakan rasa ingin tahu mereka akan hal-hal yang
baru bagi mereka. Kadang orang tua merasa capek mengahadapi pertanyaan yang
dilontarkan anak-anak kepadanya. Sebaiknya dan hendaknya orang tua tidak
memarahi ataupun melarang anaknya untuk bertanya, karena jika demikian sama
artinya dengan membunuh potensi dan kreatifitas yang terdapat pada anak-anak
yang harus terus dikembangkan.
Anak-anak pada usia ini kadang-kadang menanyakan hal-hal yang
tidak diduga oleh orang tuanya. Lantas apa yang harus dilakukan oleh orang tua
ketika menghadapi berbagai pertanyaan anak-anaknya, apakah anak harus dimarahi
ataukah memberikan jawaban asal-asalan kepadanya, ataukah dibiarkan saja begitu
saja? Kalau kita merujuk akal pikiran kita maka ketiga langkah tersebut
semuanya adalah salah. Kita biasa melihat sebagian orang tua yang ketika anak
bertanya ia langsung berkata: “Huss, jangan banyak tanya, diam kamu!”.
Orang tua hendaknya berusaha menjawab pertanyaan anak dengan
bahasa yang dipahami mereka. Sebagaimana yang dijelaskan dalam ilmu psikologi
pada usia kanak-kanak mereka lebih cepat memahami hal-hal yang bersifat
inderawi. Berdasarkan hal ini, ketika anak kami bertanya: “Mama Allah ada di
mana?”, kami jawab: “Ada di mana-mana”. Ketika ia mendengar jawaban kami secara
spontan ia bertanya kembali: “Berarti kalau gitu Tuhan itu banyak dong, khan
katanya ada di mana-mana?!”, ujarnya dengan penuh percaya diri. Kembali saya
menjawab: “Benar Tuhan ada di mana-mana, akan tetapi tetap satu”, jelas saya.
Anak kami masih bingung ketika mendengar jawaban yang kami
berikan kepadanya. Dan dari raut wajahnya masih terlihat rasa penasaran, ia
masih berpikir bagaimana bisa, ‘ada di mana-mana tapi satu’. Sewaktu kami
melihatnya dalam keadaan termenung dan masih belum puas dengan jawaban kami,
dengan penuh kasih sayang dan dengan bahasa yang semudah mungkin kami kembali
melontarkan pertanyaan; “Wahai putriku sayang, kamu tahu matahari ada berapa?
“Ya, ada satu”, jawabnya. Kami kembali bertanya: “Apakah matahari hanya ada di
tempat kamu saja, atau di tempat temanmu (yang ada di negara) lainpun ada?
“Tidak, di tempat lain pun ada”. “Wahai putriku, tadi kamu katakan matahari itu
hanya ada satu, tapi di manapun kamu berada iapun ada. Nah Tuhan pun seperti
itu, satu tapi ada di mana-mana”.[ED]
Catatan:
Tentu, kami tidak ingin mengatakan bahwa Tuhan persis seperti
matahari, ini hanya (perumpamaan
menjelaskan kepada anak) untuk pendekatan saja. Dan kita menggunakan contoh (analogi)
seperti ini hanya melihat dari segi ungkapan ‘satu tapi ada di mana-mana’ sehingga
anak dapat memahaminya atau dalam terminologi ilmu logika disebut dengan
“Pendekatan (pemahaman) hal yang non materi (Tuhan) dengan melalui hal yang
materi atau inderawi” (taqribul ma’qul bil mahsus). Yang dalam kasus ini
adalah matahari. Adapun untuk pendekatan yang lain kita bisa menggunakan
analogi yang lain, seperti Allah tidak bertempat, Allah meliputi semuanya…dst.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar