Menjawab Tafsir Misoginis
Prolog
Kajian masalah
wanita, menjadi topik yang masih hangat, seiring dengan pembahasan hak-hak
asasi manusia yang tidak hanya berimplikasi pada permasalahan wanita itu
sendiri tetapi masuk dalam dataran politik, ekonomi, hukum bahkan berimbas pula
pada pembahasan agama, termasuk Islam, hingga pada relung-relung keyakinan
pribadi pada setiap orang. Salah satu implikasi yang tidak terelakkan adalah
isu ini berusaha membongkar dogma-dogma agama, menentang sebagian ayat-ayat
al-Qur’an, menghujat hadis-hadis dan melawan setiap ide penerapan hukum Islam
dengan alasan ketidaklayakan hukum itu dalam membentengi hak-hak wanita, bahkan
jelas-jelas dianggap meminggirkan wanita.
Para ahli
sejarah telah sepakat bahwa Islam muncul di saat perempuan terdera dalam puncak
keteraniayaan, dimana hak untuk hidup, yang merupakan hak asasi setiap manusia
tidak bisa mereka dapatkan. Fenomena semacam ini terus menggejala sampai Islam
datang dengan membawa pesan-pesan Ilahi yang menyelamatkan manusia dari alam
kegelapan dan kehidupan hewani menuju cahaya dan kehidupan insani. Pada saat
itu pula islam mengangkat derajat perempuan dan melepaskan perempuan dari
belenggu keteraniayaan. Islam telah mengangkat martabat perempuan dengan
memberikan hak-hak yang telah sekian lama terampas dari tangannya serta
menempatkannya secara adil.
Tidak hanya
sampai disitu, untuk mempermudah masyarakat Islam dalam merubah kultur jahili
menuju kultur Islami, Tuhan pun menganugrahkan anak perempuan, Sayyidah
Fathimah az-Zahra as, kepada utusan-Nya agar masyarakat mudah meniru dalam
memandang dan berprilaku terhadap perempuan. Layaknya skenario film yang
berakhir dengan keindahan, datangnya Muhammad saw laksana pepatah “Habis Gelap
Terbitlah Terang” yang menjadi harapan RA Kartini. Artikel ini mencoba menganalisa
beberapa teks di dalam doktrin ajaran Islam yang sering dikaji dengan bebas
sebagai senjata untuk menisbahkan sebab-sebab kemunduran wanita di dalam Islam.
Dikarenakan teks-teks itu pula, budaya dominasi laki-laki atas perempuan
terbentuk sejalan dengan keyakinan atas doktrin tersebut.
Akar
Permasalahan Tafsir Misoginis
Di dalam
kitab-kitab hadis dapat ditemukan beberap hadis yang notabene-nya menyandang
gelar sebagai salah satu sumber hukum Islam, tapi secara zahir telah
merendahkan derajat perempuan, seperti sabda Rasul saw: “Tidaklah aku
tinggalkan setelahku bagi laki-laki fitnah yang lebih bahaya dari
perempuan”.[1]“Sebesar-besarnya bala tentara setan adalah wanita,
marah,…”[2]“Sesungguhnya perempuan imannya, akalnya,…adalah
kurang…”[3]“Jauhilah bermusyawarah dengan perempuan karena pendapat dan
tekadnya lemah…”[4] Semua itu dijadikan senjata oleh para musuh Islam untuk
menyerang Islam. Lantas, apakah doktrin-doktrin agama tersebut menunjukkan
adanya perbedaan substansi perempuan sebagaimana yang dipahami oleh orang awam?
Kalau memang mempunyai maksud yang lain, lantas bagaimana kita menginterpretasi
hadis-hadis tersebut? Apakah dengan metode tertentu makna yang lebih dalam dari
teks tersebut dapat dipahami?
Munculnya
interpretasi bahwa Islam membenci dan merendahkan wanita ibarat sebuah penyakit
kronis dan menahun dalam sejarah kehidupan manusia, yang tidak hanya dialami
Islam tapi juga menimpa sekte, agama dan aliran kepercayaan lainnya. Jika kita
analisa pokok permasalahannya, maka akan kita dapati bahwa sebenarnya pemahaman
ini muncul dikarenakan penafsiran secara dangkal terhadap sebuah doktrin agama
dan sekte. Misalkan saja Islam, maka kita pun akan mengambil secara sepenggal
baik dari hadis ataupun al-Qur’an lantas menisbahkan kepada Islam dengan mengatakan,
“Seperti inilah perempuan dalam prespektif Islam”.
Penarikan
kesimpulan semacam ini tidak dapat dibenarkan oleh akal. Kenapa? Jika kita
benar-benar ingin mengetahui perempuan dalam prespektif Islam, maka kita harus
menelaah ajaran Islam itu sendiri dari sumber-sumbernya. Dengan kata lain, kita
harus mengetahui apa yang dijadikan sumber dan tolok ukur dalam Islam. Kalau
yang dijadikan sumber dalam Islam adalah al-Qur’an dan hadis, maka harus
merujuk pada kedua sumber tersebut dan menganalisanya, setelah itu baru dapat
menarik kesimpulan dan mengatakan seperti inilah Islam memandang perempuan.
Apakah dibenarkan dengan hanya melihat sebuah hadis yang belum jelas apakah
hadis tersebut memenuhi standar atau tidak, legal atau tidak, lalu kita to the
point mengambil kesimpulan dan mengatakan, “Seperti inilah Islam memandang
perempuan!”
Misoginis,
Sebuah Definisi
Misoginis
seperti kebanyakan istilah ilmiah yang lainnya (seperti feminis, humanis,
liberalis dll) merupakan istilah yang berasal dari bahasa Inggris. Oleh karena
itu, untuk mengetahui definisi istilah tersebut kita harus merujuk ke dalam
kamus bahasa aslinya. Dalam kamus bahasa Inggris misoginis berasal dari kata
“misogyny” yang berarti ”kebencian terhadap wanita”.[5] Dalam kamus ilmiah
popular terdapat tiga ungkapan yaitu: “misogin” berarti: benci akan perempuan,
membenci perempuan, “misogini” berarti, “benci akan perempuan, perasaan benci
akan perempuan” sedang “misoginis” artinya “laki-laki yang benci kepada
perempuan”. Namun secara terminologi istilah misoginis juga digunakan untuk
doktrin-doktrin sebuah aliran pemikiran yang secara zahir memojokkan dan
merendahkan derajat perempuan, seperti yang terdapat dalam beberapa teks hadis
di atas.[6]
Menjawab
Tafsir Misoginis
Dalam makalah
ini hanya akan dibatasi analisis beberapa teks hadis kontroversial sebagai
berikut: Sesungguhnya perempuan imannya, akalnya …adalah kurang.[7]Jauhilah
bermusyawarah dengan perempuan karena pendapat dan tekadnya lemah…[8]Apakah
teks-teks seperti di atas menunjukkan kekurangan perempuan secara eksistensial?
Jika teks-teks tersebut menunjukkan kekurangan eksistensial perempuan, lantas
bagaimana halnya dengan pribadi-pribadi seperti Maryam as dan Asyiah as, dimana
Allah swt telah memuji mereka dalam al-Qur’an. Atau juga seperti sosok Khadijah
as, dan Fathimah Zahra as dimana Allah swt telah memuji mereka melalui
Rasul-Nya, dsb. yang merupakan manusia sempurna (insan kamil)? Padahal,
konsekuensi sebagai manusia sempurna bukankah berarti akal dan iman mereka
harus sempurna juga?
Untuk menjawab
pertanyaan di atas terdapat beberapa langkah yang harus dilalui: Pertama,
menganalisa sanad hadis tersebut, apakah memenuhi standar legal yang diperlukan
atau tidak? Jika ternyata dari sisi sanad tidak terdapat masalah, lanjutkan dengan
langkah berikutnya. Kedua, harus memahami muatan hadis tersebut. Untuk memahami
muatan teks suatu hadis, terutama seperti hadis di atas, kita harus melihat
semua teks-teks hadis yang berkaitan dengannya. Apakah ada pertentangan di
antara hadis-hadis tersebut atau tidak? Ketiga, melihat situasi dan kondisi
ketika riwayat tersebut disampaikan oleh perawi hadis, sehingga dapat lebih
mudah memahaminya. Inilah langkah-langkah umum untuk memahami hadis dengan
benar.
Kembali kepada
hadis di atas, benarkah dispensasi pada masa haid menyebabkan kekurangan iman?
Berkenaan dengan kekurangan iman perempuan, terdapat tiga hadis yang
menggunakan ungkapan: “memiliki kekurangan dan kelemahan dari sisi agama”, dan
dalam satu riwayat lain menggunakan ungkapan “memiliki kekurangan dari sisi
iman”. Sedang maksud dari kekurangan sisi agama di sini adalah berkurangnya
taklif (kewajiban syar’i) dimana hal ini sama sekali tidak berhubungan dengan
derajad kemuliaan. Dispensasi yang diberikan Allah kepada wanita untuk tidak melaksanakan
shalat dan puasa pada masa menstruasi dinyatakan sebagai kekurangan di dalam
bahasa riwayat tersebut.
Sebenarnya
dengan adanya dispensasi tersebut (hilangnya beberapa kewajiban di saat
menstruasi) tidak menunjukkan rendahnya kedudukan perempuan, oleh karena;
Pertama, perempuan tidak melaksanakan shalat dan puasa ketika sedang haid
sebenarnya adalah dalam rangka mentaati perintah Tuhan. Karena bukankah Tuhan
yang melarang wanita untuk shalat dan puasa dalam keadaan itu? Tidak ada yang
lebih bernilai kecuali ketaatan terhadap perintah-Nya. Bukankah Iblis telah
beribadah hingga beribu tahun tapi pada akhirnya terusir karena menolak
perintah Tuhan untuk bersujud kepada Adam?[9]
Kedua, meskipun perempuan mendapatkan dispensasi dalam beberapa ibadah (shalat
dan puasa) tapi bukankah perempuan lebih cepat mencapai masa taklif, dimana
perempuan telah mencapai usia balig pada umur 9 tahun sedang laki-laki lima
belas tahun.[10]Pada usia 50 tahun seorang perempuan akan memasuki masa
menopause hingga tiada lagi halangan untuk melaksanakan ibadah secara penuh.
Dan bukankah pada masa hamil dan menyusui perempuan tetap dapat melaksanakan
kewajibannya? Selain itu, pada masa kehamilan dan menyusui, Tuhan memberikan
pahala istimewa kepada para wanita sebagaimana diisyaratkan pada beberapa
riwayat. Rasul bersabda:“Pahala wanita hamil seperti pahalanya orang yang
berjihad di jalan Allah. Melahirkan menyebabkan perempuan terampuni dari
dosa-dosanya, begitupun pahala orang yang menyusui seperti pahala orang yang
membebaskan budak di jalan Allah”[11]Oleh karena itu, dari sisi kuantitas waktu
pelaksanaan peribadatan antara laki-laki dan perempuan tidaklah jauh berbeda.
Ketiga, dari sini kita tahu bahwa maksud dari riwayat yang mengatakan;
“Perempuan mempunyai kekurangan dari sisi iman” ialah ingin mengisyaratkan
bahwa dengan adanya dispensasi dalam beberapa jenis peribadatan akan menjadi
lahan (baca: potensi) untuk melemahnya iman. Untuk menghindari hal tersebut,
Rasulullah saw memberikan pesan kepada para wanita yang sedang haid, ketika
waktu shalat tiba hendaknya ia membersihkan diri kemudian berwudlu. Setelah itu
menghadap kiblat untuk berdoa’ dan bermunajat kepada Allah swt.[12] Dengan
melakukan hal ini, maka wanita dapat mengganti kekosongan hubungan spiritual
dengan Tuhannya yang terputus akibat menstruasi, melalui jenis ibadah lain.
Keempat, kehendak alami Tuhan (iradah takwini) memang menghendaki
penciptaan sistem anatomi tubuh khusus bagi perempuan yang berbeda dengan
laki-laki. Pada perempuan, harus terjadi proses pendarahan sebagai lahan untuk
terjadinya pembuahan, kehamilan dan lahirlah generasi penerus. Dengan kata
lain, menstruasi di luar kehendak perempuan dan sudah menjadi suratan
ciptaannya. Mungkinkah Tuhan menghukumi sesuatu dengan positif dan negatif sementara
hal tersebut di luar kehendak dan ikhtiyar manusia? Tentu jawabannya adalah
tidak.
Kelima, kita dapat menelaah banyak ayat-ayat al-Qur’an yang membahas
persamaan nilai serta kesempurnaan antara laki-laki dan perempuan, seperti
dalam surat al-Ahzab: 35, Ali-Imran:105, al-Hadid:12, an-Nahl:97 dan lain-lain.
Bahkan al-Qur’an dengan sangat jelas menyatakan istri Fir’aun sebagai
suriteladan bagi orang-orang mukmin, baik laki-laki maupun perempuan.
Sebagaimana yang dapat kita lihat dalam ayat berikut:“Dan Allah membuat istri
fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman…”[13] Kalaulah perempuan
secara umum imannya kurang, mungkinkah sebagian mereka dapat dijadikan teladan
bagi orang-orang beriman? Begitupula jika kita menelaah hadis-hadis lain yang
menjelaskan tentang keagungan para wanita yang sempurna imannya. Dalam sebuah
hadis Rasul bersabda:
“Derajat
Fathimah sejajar dengan Ali, serta lebih utama dari para lelaki yang ada pada
zamannya…”.[14] [islamalternatif.com]
Selanjutnya, bagaimanakah dengan
hadis yang menyatakan bahwa akal perempuan adalah kurang? Apakah perempuan
diciptakan dalam keadaan kapasitas akal yang kurang? Jika benar demikian,
apakah Tuhan adil? Jika jawabnya tidak, lantas apakah maksud dari hadis
tersebut? Untuk menjawab hal ini, terlebih dahulu kita harus mengetahui tentang
istilah akal dalam persepsi konteks agama. Apakah sebenarnya yang dimaksud
dengan akal dalam hadis-hadis tadi? Apakah dengan makna akal itu dapat ditarik
kesimpulan bahwa kapasitas akal perempuan lemah? Untuk mengetahui maksud hadis
imam Ali as di atas, marilah kita menelaah beberapa hadis yang berkenaan dengan
akal.
Esensi Akal
Untuk
mengetahui esensi akal manusia perlu dianalisa apa yang dimaksud akal dalam
prespektif Rasul dan ma’sumin as sebagai pelengkap dalam memahami makna dari
teks-teks yang telah disebutkan di atas. Hadis-hadis yang berkenaan dengan akal
diantaranya;
Rasul
saw bersabda:
“
Sesungguhnya semua kebajikan diketahui melalui akal”.[15]
Imam
Ali as berkata:
“Akal
adalah merupakan modal alami manusia, melalui belajar dan pengalaman akal dapat
bertambah”.[16]
“Akal
adalah agama dalam (hujjah bathin) bagi manusia sebagaimana syari’at (hujjah
zahir) sebagai agama luar bagi manusia”.[17]
“Akal
terbagi kepada dua bagian, akal alami (tabi’i) dan akal yang dihasilkan melalui
pengalaman (tajrubi) yang mana hasil keduanya adalah menguntungkan
manusia”.[18]
“Akal
petunjuk kebenaran”.[19]
Dan
siapakah orang yang berakal? Imam Ali as dan Imam Ja’far as memberikan
ciri-ciri bagi mereka yang berakal. Imam Ali as berkata:
“Orang
berakal bukan hanya sekedar dapat membedakan kebaikan dari keburukan, tapi
orang berakal adalah orang yang dapat membedakan kebaikan diantara dua
keburukan”.[20]
“Orang
yang berakal adalah orang yang meletakan sesuatu pada tempatnya”.[21]
Imam
Ja’far Shadiq as berkata:
“Orang
yang berakal adalah orang yang mengetahui (situasi dan kondisi) zamannya,
posisi (diri)-nya dan menjaga lisannya”.[22]
Melihat
hadis-hadis di atas, secara umum, yang dimaksud dengan akal adalah parameter
bagi manusia untuk membedakan kebaikan dan keburukan. Dalam hal ini tergantung
pada perempuan dan laki-laki itu sendiri sebagai pemilik akal. Beberapa
kalangan menyebutkan bahwa salah satu bukti kurangnya akal perempuan adalah
kesaksian dua perempuan sama dengan kesaksian seorang laki-laki. Benarkah
demikian? Bagaimanakah menurut al-Qur’an?
Dalam
al-Qur’an disebutkan, salah satu hikmah dari kesaksian dua orang perempuan yang
sama dengan seorang laki-laki adalah, jika salah satu dari perempuan itu lupa
maka yang lain dapat mengingatkannya. Sebagaimana yang telah disinyalir dalam
surat al-Baqarah ayat:282. Itu berarti al-Qur’an melontarkan persoalan lupa
yang secara umum lebih cepat dialami oleh perempuan daripada laki-laki. Tidak
dapat dipungkiri lupa merupakan salah satu bentuk kekurangan, tapi bukan
berarti sebuah kekurangan yang menyebabkan manusia tidak dapat mencapai
kesempurnaan sejati (hakiki) seperti yang dikehendaki Tuhan.
Dari
sisi lain, akal manusia jika dilihat dari fungsi dan kegunaannya terbagi atas
dua: “akal teoritis” (aql nadzari) yang berfungsi sebagai sumber proses
berpikir. Dan “akal praktis” (aql amali) yang dengannya manusia dapat menerima
setiap konsep sehingga dapat diaplikasikan dalam prilaku. Akal teoritis
berhubungan dengan permasalahan pemikiran, pandangan, berargumentasi dan
sebagainya. Adapun akal praktis bersangkutan dengan perihal penerimaan,
kecenderungan, kerja keras, dan lain-lain.[23] Sebagaimana terdapat di dalam
kitab Ushul-Kafi, pembahasan dalam kitab tersebut adalah masalah “akal dan bala
tentaranya dan kebodohan (jahl) beserta bala tentaranya”, dan yang dimaksud
dengan akal di sini adalah akal praktis.
Pada
dasarnya antara kedua jenis akal tersebut terdapat jarak yang jauh, oleh
karenanya sering kita lihat manusia berilmu tapi tidak beramal atau beramal
tanpa dilandasi ilmu. Menurut pendapat pertama, maksud dari ungkapan “wanita
memiliki lemah akal” adalah, lemah dari sisi akal teoritis.[24] Ini berarti,
daya berargumen dan berpikir laki-laki lebih kuat dari perempuan. Untuk
menguatkan persepsinya mereka berdalih dengan menggunakan ayat al-Qur’an,
adz-Dzuhruf ayat 18, ketika memberikan jawaban kepada Arab jahiliyah tentang
keyakinan malaikat sebagai anak perempuan Tuhan:
“Dan
apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan
berperhiasan sedang ia tidak dapat memberi alasan yang kuat dalam berargumen”.
Pada
zaman jahiliyah, jika masyarakat tidak membunuh anak perempuan niscaya mereka
akan mendidiknya dengan berbagai corak dandanan dan perhiasan. Cara mendidik
semacam ini menyebabkan kemampuan berpikir, yang didapat melalui akal teoritis
anak-anak perempuan tersebut tidak dapat berkembang. Allah swt dalam ayat di
atas telah mencela metode pendidikan seperti itu. Berargumen dengan ayat di
atas untuk merendahkan martabat wanita sangatlah tidak tepat, karena hukum
semacam itu tidak dapat digeneralisasikan. Hanya perempuan yang dididik dengan
metode yang salah tadi saja yang dicela oleh Allah.[25]
Beberapa
kalangan berpendapat akal empiris (aql tajrubi) perempuan tidak sekuat kaum
lelaki, karena tugas utama wanita adalah melahirkan dan mendidik anak, sehingga
kesempatan untuk mendapatkan pengalaman antara laki-laki dan perempuan berbeda.
Jadi perbedaan bukan terletak pada sisi alamiah akan tetapi lebih dikarenakan
pembagian kerja antara mereka.[26]
Sebagian
lagi berpendapat, yang dimaksud dengan akal dalam riwayat di atas bukanlah
tertuju pada kemampuan akal itu sendiri, akan tetapi lebih ditekankan pada cara
berpikir pemilik akal. Dengan kata lain, letak perbedaan bukan pada esensi akal
tetapi pada pengaktifan potensi akal. Perempuan jarang menganalisa suatu
peristiwa dengan akalnya, ini semua dikarenakan jiwa emosional lebih
mendominasi dirinya. Sementara untuk berpikir yang benar dibutuhkan suasana
tenang dan penguasaan terhadap kestabilan emosional. Di sisi lain karena
emosional laki-laki lebih rendah dibanding perempuan maka ia lebih cepat dapat
menguasai dirinya. Oleh karena itu, jika ada seorang perempuan mampu
mengendalikan emosionalnya maka ia pun dapat berpikir dan menganalisa dengan
baik. Jelas sekali, jiwa emosi tidak selamanya buruk. Karena ketika Tuhan
menganugrahkan jiwa emosional secara ekstra kepada wanita pastilah didasari
alasan tertentu, salah satunya peran ibu yang memerlukan emosi yang lebih.
Jelas, jiwa emosional harus ditempatkan pada tempatnya.[27]
Berdasarkan
jawaban-jawaban dia atas, secara ringkas dapat kita mengambil beberapa
kesimpulan.
Pertama, andaikan hadis tersebut tidak bermasalah dari segi sanad
(silsilah para perawi), maka maksud dari hadis di atas bukan tertuju pada
substansi perempuan yang dinyatakan lemah iman, karena kalau menunjukkan
substansinya maka tidak akan ada satupun perempuan yang mencapai kesempurnaan.
Sementara realitanya betapa banyak perempuan yang mencapai kesempurnaan bahkan
ia lebih tinggi derajatnya dari para lelaki sebagaimana yang dapat kita lihat
dari beberapa ayat dan hadis yang telah disebut di atas.
Kedua, hadis di atas tidak berkenaan dengan semua perempuan, tapi
situasi dan kondisilah yang menyebabkan Imam Ali as ketika dalam perang Jamal
mengatakan hal itu (lihat kembali kitab Nahjul-Balaghah khutbah ke-80). Dengan
istilah lain, ungkapan Imam Ali as berkaitan dengan proposisi eksternal
(qadziyqh-kharijiyah) yang maksudnya tidak mencakup semua perempuan secara
universal.
Tetapi
mungkin muncul pertanyaan lain, kalaulah hadis tersebut tidak mencakup semua
perempuan dan merupakan proposisi eksternal lantas kenapa dalam riwayat
tersebut kata”nisa” (berarti: perempuan) memakai alif-lam sehingga dibaca
‘an-nisa’. Sementara dalam kaidah bahasa Arab penggunaan alif-lam istighraq
digunakan untuk menunjukkan umum dan mencakup semua yang sejenisnya, apakah ini
tidak terjadi kontradiksi?
Secara
ringkas dapat dijawab bahwa, memang maksud riwayat tersebut tidak mencakup
semua perempuan dan maksud dari perkataan Imam Ali as ialah perempuan pada
peristiwa perang Jamal, akan tetapi beliau ingin mengisyaratkan bahwa jika ada
perempuan yang melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh perempuan di
perang Jamal itu maka hadis tersebut pun akan mencakup perempuan itu.
Musyawarah dalam Perspektif al-Qur’an
Masalah
terakhir yang akan dianalisa adalah berkenaan dengan larangan musyawarah dengan
perempuan, apakah maksud sebenarnya dari hadis tersebut? Apakah secara mutlak
tidak dapat bermusyawarah dengan perempuan? Tidak diragukan lagi, bahwa dampak
positif yang dihasilkan dari musyawarah, diantaranya dapat ditemukannya jalan
keluar terbaik, kemampuan manusia semakin berkembang, mengokohkan jalinan
kerjasama antara sesama dan sebagainya. Al-Qur’an sebagai kitab pedoman bagi
umat Islam menekankan untuk bermusyawarah dalam menyelesaikan sebuah perkara,
sebagaimana yang dapat kita simak dalam ayat berikut ini:
“…Sedang
urusan mereka (diputuskan) melalui musyawarah…”, [28]
“…Dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu…”.[29]
Kedua
ayat di atas bersangkutan dengan perintah musyawarah secara umum, artinya
mencakup musyawarah antara laki-laki dengan perempuan ataupun sebaliknya. Dalam
kaidah bahasa Arab, ketika suatu ungkapan yang obyeknya adalah laki-laki dan
perempuan, maka ia akan menggunakan kata ganti (dzamir) laki-laki (mudzakar).
Namun, dalam beberapa ayat dengan jelas memerintahkan musyawarah dengan
perempuan seperti yang dapat kita simak dari ayat berikut ini:
“…Apabila
keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun), dengan kerelaan keduanya dan
permusyawarahan maka tidak apa-apa atas keduanya.[30]
Ayat
tersebut sebagai bukti atas anjuran bermusyawarah dengan perempuan dalam urusan
keluarga.
Adapun
berkenaan dengan politik, kita lihat dalam ayat yang menjelaskan kisah Ratu
Balqis ketika bermusyawarah dengan anggota dewan permusyawaratan kerajaan untuk
mengambil keputusan dalam rangka menghadapi usulan Nabi Sulaiman as:
“Dia
(Balqis) berkata: “Wahai para pembesar berilah aku pertimbangan dalam
urusan-ku, aku tidak pernah memutuskan sesuatu perkara sebelum kamu berada
dalam majlisku”.[31]
Lalu,
para dewan permusyawaratan itu mengusulkan untuk mengirim pasukan:
“Mereka
menjawab: “Kita adalah orang yang memiliki kekuatan dan juga keberanian yang
sangat (dalam peperangan), dan keputusan ada di tanganmu; maka pertimbangkanlah
apa yang akan kamu perintahkan”.[32]
Setelah
mendengar pendapat para anggota dewannya, Ratu Balqis pun memberikan sebuah
usulan:
“Balqis
berkata; “Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negri, niscaya mereka
membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina; dan
demikianlah yang akan mereka perbuat. Dan sesungguhnya aku akan mengirim utusan
kepada mereka dengan membawa hadiah, dan aku akan menunggu apa yang akan dibawa
kembali oleh utusan-utusan itu”.[33]
Berdasarkan
ayat di atas, Allah menjelaskan bahwa pendapat Ratu Balqislah yang benar dan
yang dapat menghantarkan untuk mendapat hidayah, sehingga Ratu Balqis berkata:
“Ya
Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah
diri bersama Sulaiman kepada Allah Tuhan semesta alam”.[34]
Sirah Para Nabi dalam Bermusyawarah dengan Perempuan
Di
sini kita hanya menukil beberapa kisah dari para nabi saja diantaranya:
Kisah
putri Nabi Syuaib as. Ketika salah satu putri Nabi Syuaib as mengusulkan untuk
memperkerjakan Nabi Musa as, seperti yang dinukil dalam ayat berikut ini:
“Wahai
bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena
sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja ialah orang
yang kuat lagi dapat dipercaya”.[35]
Yang
patut diperhatikan dari kisah tersebut ialah, putrid Nabi Syuaib as melontarkan
pendapat kepada ayahnya disertai dengan argumen yang logis.
Kisah
Sarah, istri Nabi Ibrahim juga menjelaskan bagaimana Islam memandang seorang
perempuan, sebagaimana yang diriwayatkan dari Imam Ja’far Shadiq as. Sarah
mengusulkan agar Nabi Ibrahim as memohon keturunan kepada Allah dan berkata:
“Wahai
Ibrahim, usiamu telah lanjut jika engkau memohon kepada Allah rizki berupa anak
yang akan menjadi penyejuk mata kita…lantas Ibrahim memohon kepada Allah agar
dianugrahi seorang anak lelaki yang pandai, kemudian Allah mewahyukan
kepadanya: “Sesungguhnya aku telah menganugrahkan kepadamu seorang anak lelaki
yang pandai”.[36]
Kisah
Nabi Muhammad saw beserta Ummu Salamah. Saat itu Rasul bersama para pengikutnya
hendaknya menziarahi Ka’bah, tapi karena Mekkah masih dikuasai orang-orang
kafir dan mereka tidak memberikan izin kepada Rasul beserta pengikutnya untuk
berziarah. Akhirnya terbentuklah sebuah perjanjian damai dimana kaum muslimin
harus kembali ke Madinah dan tahun depan mereka baru dapat menzaiarahi Ka’bah.
Setelah menandatangani surat perjanjian tersebut, kemudian Rasul memerintahkan
pengikutnya untuk menyembelih binatang kurban dan mencukur rambut di tempat
tersebut, tapi mereka tidak mendengarkan perintah Rasul. Rasul merasa sedih
terhadap pembangkangan yang dilakukan oleh sebagain sahabat beliau, lantas
beliau menceritakan perkara tersebut kepada Ummu Salamah. Lalu Ummu Salamah
mengusulkan kepada beliau untuk memulainya terlebih dahulu sehingga akhirnya
pengikut beliau pun dapat mengikutinya. Rasul melaksanakan apa yang disarankan
oleh Ummu Salamah, ketika Rasul berkurban dan mencukur rambutnya lalu para
pengikutnya melakukan apa yang telah beliau lakukan.[37]
Dari
penjelasan di atas maka ungkapan Iman Ali as yang mengatakan “Jauhilah
bermusyawarah dengan perempuan, kecuali dengan perempuan yang dikarenakan
mempunyai kesempurnaan akal maka ia telah berpengalaman”[38]turut menguatkan
argumen di atas. Pelarangan musyawarah tersebut lebih dikarenakan situasi
kondisi wanita saat itu dan bukan pelarangan yang bersifat substansial atas
wanita sebagaimana yang dapat kita ketahui dari hadis terakhir.[islamalternatif.com]
Wallahua’lam
Penulis:
S2 Jurusan Tafsir al-Quran di Universitas Bintul Huda Qom, Republik Islam-Iran
________________________________________
[1]
Kermani, Syarah Bukhari, 1937-1981,
Beirut: Daaru al-Ihyai at-Turaatsu al-Arabi, jilid 18, Bab Nikah,
Beirut: Daaru al-Ihyai at-Turaatsu al-Arabi, jilid 18, Bab Nikah,
hal: 75
[2] Ray
Syahri, Muhamad, Miza al-Hikmah, 1416,
Qom: Maktabu al-a’laami al-Islamii, jilid 9, hal: 107
Qom: Maktabu al-a’laami al-Islamii, jilid 9, hal: 107
[3]
Bobawaeh, Muhamad (Syeikh Shaduq), Man Laa Yahdzur Faqih,
Beirut: Daaru al-Adzwaa, jilid 3, hal:
Beirut: Daaru al-Adzwaa, jilid 3, hal:
281, bab
11, hadis ke-6, dan Dar at-Ta’aruf lil Matbu’at, Nahjul-Balaghah wa Mu’jam
al-Mufahrast
li
Alfadzihi, 1990,
Beirut, Khutbah ke-80, hal: 63
Beirut, Khutbah ke-80, hal: 63
[4] Al-Hur
al-Amilii, Muhamad bin Husain, Wasa’il as-Syi’ah, 1413 H,
Beirut: Daaru-al-Ihyai at-Turotsu
Beirut: Daaru-al-Ihyai at-Turotsu
al-Arabi,
jilid 14, hal: 131, hadis ke-25370
[5]
Echols, jhon dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, 1986,
Jakarta, Gramedia, hal: 382
Jakarta, Gramedia, hal: 382
[6] Partanto,
Pius A. dan al-Barry M Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, 1994,
Surabaya: Arkola hal:473
Surabaya: Arkola hal:473
[7]
Bobawaeh, Muhamad (Syeikh Shaduq), opcit, jilid 3, hal:281, bab 11, hadis ke-6
[8] Al-Hur
al-Amili, Muhamad bin Husain, opcit, Khitbah ke-80, hal:63
[9] Khaz
Ali, Kubra dkk, Zan, Aql, Iman Masywerat, 1380,
Qom: Safir Subh, hal: 231
Qom: Safir Subh, hal: 231
[10]
Al-Musawi al-Khumaeni, Ruhullah, Tahrirul-Wasilah, 1408 H,
Qom: Muaseseye Ismoiliyon, jilid 2,
Qom: Muaseseye Ismoiliyon, jilid 2,
hal: 13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar