Jumat, 22 Januari 2016

Menjawab Tafsir Misoginis




Menjawab Tafsir Misoginis
Prolog
Kajian masalah wanita, menjadi topik yang masih hangat, seiring dengan pembahasan hak-hak asasi manusia yang tidak hanya berimplikasi pada permasalahan wanita itu sendiri tetapi masuk dalam dataran politik, ekonomi, hukum bahkan berimbas pula pada pembahasan agama, termasuk Islam, hingga pada relung-relung keyakinan pribadi pada setiap orang. Salah satu implikasi yang tidak terelakkan adalah isu ini berusaha membongkar dogma-dogma agama, menentang sebagian ayat-ayat al-Qur’an, menghujat hadis-hadis dan melawan setiap ide penerapan hukum Islam dengan alasan ketidaklayakan hukum itu dalam membentengi hak-hak wanita, bahkan jelas-jelas dianggap meminggirkan wanita.
Para ahli sejarah telah sepakat bahwa Islam muncul di saat perempuan terdera dalam puncak keteraniayaan, dimana hak untuk hidup, yang merupakan hak asasi setiap manusia tidak bisa mereka dapatkan. Fenomena semacam ini terus menggejala sampai Islam datang dengan membawa pesan-pesan Ilahi yang menyelamatkan manusia dari alam kegelapan dan kehidupan hewani menuju cahaya dan kehidupan insani. Pada saat itu pula islam mengangkat derajat perempuan dan melepaskan perempuan dari belenggu keteraniayaan. Islam telah mengangkat martabat perempuan dengan memberikan hak-hak yang telah sekian lama terampas dari tangannya serta menempatkannya secara adil.
Tidak hanya sampai disitu, untuk mempermudah masyarakat Islam dalam merubah kultur jahili menuju kultur Islami, Tuhan pun menganugrahkan anak perempuan, Sayyidah Fathimah az-Zahra as, kepada utusan-Nya agar masyarakat mudah meniru dalam memandang dan berprilaku terhadap perempuan. Layaknya skenario film yang berakhir dengan keindahan, datangnya Muhammad saw laksana pepatah “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang menjadi harapan RA Kartini. Artikel ini mencoba menganalisa beberapa teks di dalam doktrin ajaran Islam yang sering dikaji dengan bebas sebagai senjata untuk menisbahkan sebab-sebab kemunduran wanita di dalam Islam. Dikarenakan teks-teks itu pula, budaya dominasi laki-laki atas perempuan terbentuk sejalan dengan keyakinan atas doktrin tersebut.
Akar Permasalahan Tafsir Misoginis
Di dalam kitab-kitab hadis dapat ditemukan beberap hadis yang notabene-nya menyandang gelar sebagai salah satu sumber hukum Islam, tapi secara zahir telah merendahkan derajat perempuan, seperti sabda Rasul saw: “Tidaklah aku tinggalkan setelahku bagi laki-laki fitnah yang lebih bahaya dari perempuan”.[1]“Sebesar-besarnya bala tentara setan adalah wanita, marah,…”[2]“Sesungguhnya perempuan imannya, akalnya,…adalah kurang…”[3]“Jauhilah bermusyawarah dengan perempuan karena pendapat dan tekadnya lemah…”[4] Semua itu dijadikan senjata oleh para musuh Islam untuk menyerang Islam. Lantas, apakah doktrin-doktrin agama tersebut menunjukkan adanya perbedaan substansi perempuan sebagaimana yang dipahami oleh orang awam? Kalau memang mempunyai maksud yang lain, lantas bagaimana kita menginterpretasi hadis-hadis tersebut? Apakah dengan metode tertentu makna yang lebih dalam dari teks tersebut dapat dipahami?
Munculnya interpretasi bahwa Islam membenci dan merendahkan wanita ibarat sebuah penyakit kronis dan menahun dalam sejarah kehidupan manusia, yang tidak hanya dialami Islam tapi juga menimpa sekte, agama dan aliran kepercayaan lainnya. Jika kita analisa pokok permasalahannya, maka akan kita dapati bahwa sebenarnya pemahaman ini muncul dikarenakan penafsiran secara dangkal terhadap sebuah doktrin agama dan sekte. Misalkan saja Islam, maka kita pun akan mengambil secara sepenggal baik dari hadis ataupun al-Qur’an lantas menisbahkan kepada Islam dengan mengatakan, “Seperti inilah perempuan dalam prespektif Islam”.
Penarikan kesimpulan semacam ini tidak dapat dibenarkan oleh akal. Kenapa? Jika kita benar-benar ingin mengetahui perempuan dalam prespektif Islam, maka kita harus menelaah ajaran Islam itu sendiri dari sumber-sumbernya. Dengan kata lain, kita harus mengetahui apa yang dijadikan sumber dan tolok ukur dalam Islam. Kalau yang dijadikan sumber dalam Islam adalah al-Qur’an dan hadis, maka harus merujuk pada kedua sumber tersebut dan menganalisanya, setelah itu baru dapat menarik kesimpulan dan mengatakan seperti inilah Islam memandang perempuan. Apakah dibenarkan dengan hanya melihat sebuah hadis yang belum jelas apakah hadis tersebut memenuhi standar atau tidak, legal atau tidak, lalu kita to the point mengambil kesimpulan dan mengatakan, “Seperti inilah Islam memandang perempuan!”
Misoginis, Sebuah Definisi
Misoginis seperti kebanyakan istilah ilmiah yang lainnya (seperti feminis, humanis, liberalis dll) merupakan istilah yang berasal dari bahasa Inggris. Oleh karena itu, untuk mengetahui definisi istilah tersebut kita harus merujuk ke dalam kamus bahasa aslinya. Dalam kamus bahasa Inggris misoginis berasal dari kata “misogyny” yang berarti ”kebencian terhadap wanita”.[5] Dalam kamus ilmiah popular terdapat tiga ungkapan yaitu: “misogin” berarti: benci akan perempuan, membenci perempuan, “misogini” berarti, “benci akan perempuan, perasaan benci akan perempuan” sedang “misoginis” artinya “laki-laki yang benci kepada perempuan”. Namun secara terminologi istilah misoginis juga digunakan untuk doktrin-doktrin sebuah aliran pemikiran yang secara zahir memojokkan dan merendahkan derajat perempuan, seperti yang terdapat dalam beberapa teks hadis di atas.[6]
Menjawab Tafsir Misoginis
Dalam makalah ini hanya akan dibatasi analisis beberapa teks hadis kontroversial sebagai berikut: Sesungguhnya perempuan imannya, akalnya …adalah kurang.[7]Jauhilah bermusyawarah dengan perempuan karena pendapat dan tekadnya lemah…[8]Apakah teks-teks seperti di atas menunjukkan kekurangan perempuan secara eksistensial? Jika teks-teks tersebut menunjukkan kekurangan eksistensial perempuan, lantas bagaimana halnya dengan pribadi-pribadi seperti Maryam as dan Asyiah as, dimana Allah swt telah memuji mereka dalam al-Qur’an. Atau juga seperti sosok Khadijah as, dan Fathimah Zahra as dimana Allah swt telah memuji mereka melalui Rasul-Nya, dsb. yang merupakan manusia sempurna (insan kamil)? Padahal, konsekuensi sebagai manusia sempurna bukankah berarti akal dan iman mereka harus sempurna juga?
Untuk menjawab pertanyaan di atas terdapat beberapa langkah yang harus dilalui: Pertama, menganalisa sanad hadis tersebut, apakah memenuhi standar legal yang diperlukan atau tidak? Jika ternyata dari sisi sanad tidak terdapat masalah, lanjutkan dengan langkah berikutnya. Kedua, harus memahami muatan hadis tersebut. Untuk memahami muatan teks suatu hadis, terutama seperti hadis di atas, kita harus melihat semua teks-teks hadis yang berkaitan dengannya. Apakah ada pertentangan di antara hadis-hadis tersebut atau tidak? Ketiga, melihat situasi dan kondisi ketika riwayat tersebut disampaikan oleh perawi hadis, sehingga dapat lebih mudah memahaminya. Inilah langkah-langkah umum untuk memahami hadis dengan benar.
Kembali kepada hadis di atas, benarkah dispensasi pada masa haid menyebabkan kekurangan iman? Berkenaan dengan kekurangan iman perempuan, terdapat tiga hadis yang menggunakan ungkapan: “memiliki kekurangan dan kelemahan dari sisi agama”, dan dalam satu riwayat lain menggunakan ungkapan “memiliki kekurangan dari sisi iman”. Sedang maksud dari kekurangan sisi agama di sini adalah berkurangnya taklif (kewajiban syar’i) dimana hal ini sama sekali tidak berhubungan dengan derajad kemuliaan. Dispensasi yang diberikan Allah kepada wanita untuk tidak melaksanakan shalat dan puasa pada masa menstruasi dinyatakan sebagai kekurangan di dalam bahasa riwayat tersebut.
Sebenarnya dengan adanya dispensasi tersebut (hilangnya beberapa kewajiban di saat menstruasi) tidak menunjukkan rendahnya kedudukan perempuan, oleh karena;
Pertama, perempuan tidak melaksanakan shalat dan puasa ketika sedang haid sebenarnya adalah dalam rangka mentaati perintah Tuhan. Karena bukankah Tuhan yang melarang wanita untuk shalat dan puasa dalam keadaan itu? Tidak ada yang lebih bernilai kecuali ketaatan terhadap perintah-Nya. Bukankah Iblis telah beribadah hingga beribu tahun tapi pada akhirnya terusir karena menolak perintah Tuhan untuk bersujud kepada Adam?[9]
Kedua, meskipun perempuan mendapatkan dispensasi dalam beberapa ibadah (shalat dan puasa) tapi bukankah perempuan lebih cepat mencapai masa taklif, dimana perempuan telah mencapai usia balig pada umur 9 tahun sedang laki-laki lima belas tahun.[10]Pada usia 50 tahun seorang perempuan akan memasuki masa menopause hingga tiada lagi halangan untuk melaksanakan ibadah secara penuh. Dan bukankah pada masa hamil dan menyusui perempuan tetap dapat melaksanakan kewajibannya? Selain itu, pada masa kehamilan dan menyusui, Tuhan memberikan pahala istimewa kepada para wanita sebagaimana diisyaratkan pada beberapa riwayat. Rasul bersabda:“Pahala wanita hamil seperti pahalanya orang yang berjihad di jalan Allah. Melahirkan menyebabkan perempuan terampuni dari dosa-dosanya, begitupun pahala orang yang menyusui seperti pahala orang yang membebaskan budak di jalan Allah”[11]Oleh karena itu, dari sisi kuantitas waktu pelaksanaan peribadatan antara laki-laki dan perempuan tidaklah jauh berbeda.
Ketiga, dari sini kita tahu bahwa maksud dari riwayat yang mengatakan; “Perempuan mempunyai kekurangan dari sisi iman” ialah ingin mengisyaratkan bahwa dengan adanya dispensasi dalam beberapa jenis peribadatan akan menjadi lahan (baca: potensi) untuk melemahnya iman. Untuk menghindari hal tersebut, Rasulullah saw memberikan pesan kepada para wanita yang sedang haid, ketika waktu shalat tiba hendaknya ia membersihkan diri kemudian berwudlu. Setelah itu menghadap kiblat untuk berdoa’ dan bermunajat kepada Allah swt.[12] Dengan melakukan hal ini, maka wanita dapat mengganti kekosongan hubungan spiritual dengan Tuhannya yang terputus akibat menstruasi, melalui jenis ibadah lain.
Keempat, kehendak alami Tuhan (iradah takwini) memang menghendaki penciptaan sistem anatomi tubuh khusus bagi perempuan yang berbeda dengan laki-laki. Pada perempuan, harus terjadi proses pendarahan sebagai lahan untuk terjadinya pembuahan, kehamilan dan lahirlah generasi penerus. Dengan kata lain, menstruasi di luar kehendak perempuan dan sudah menjadi suratan ciptaannya. Mungkinkah Tuhan menghukumi sesuatu dengan positif dan negatif sementara hal tersebut di luar kehendak dan ikhtiyar manusia? Tentu jawabannya adalah tidak.
Kelima, kita dapat menelaah banyak ayat-ayat al-Qur’an yang membahas persamaan nilai serta kesempurnaan antara laki-laki dan perempuan, seperti dalam surat al-Ahzab: 35, Ali-Imran:105, al-Hadid:12, an-Nahl:97 dan lain-lain. Bahkan al-Qur’an dengan sangat jelas menyatakan istri Fir’aun sebagai suriteladan bagi orang-orang mukmin, baik laki-laki maupun perempuan. Sebagaimana yang dapat kita lihat dalam ayat berikut:“Dan Allah membuat istri fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman…”[13] Kalaulah perempuan secara umum imannya kurang, mungkinkah sebagian mereka dapat dijadikan teladan bagi orang-orang beriman? Begitupula jika kita menelaah hadis-hadis lain yang menjelaskan tentang keagungan para wanita yang sempurna imannya. Dalam sebuah hadis Rasul bersabda:
“Derajat Fathimah sejajar dengan Ali, serta lebih utama dari para lelaki yang ada pada zamannya…”.[14] [islamalternatif.com]
Selanjutnya, bagaimanakah dengan hadis yang menyatakan bahwa akal perempuan adalah kurang? Apakah perempuan diciptakan dalam keadaan kapasitas akal yang kurang? Jika benar demikian, apakah Tuhan adil? Jika jawabnya tidak, lantas apakah maksud dari hadis tersebut? Untuk menjawab hal ini, terlebih dahulu kita harus mengetahui tentang istilah akal dalam persepsi konteks agama. Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan akal dalam hadis-hadis tadi? Apakah dengan makna akal itu dapat ditarik kesimpulan bahwa kapasitas akal perempuan lemah? Untuk mengetahui maksud hadis imam Ali as di atas, marilah kita menelaah beberapa hadis yang berkenaan dengan akal.
Esensi Akal
Untuk mengetahui esensi akal manusia perlu dianalisa apa yang dimaksud akal dalam prespektif Rasul dan ma’sumin as sebagai pelengkap dalam memahami makna dari teks-teks yang telah disebutkan di atas. Hadis-hadis yang berkenaan dengan akal diantaranya;
Rasul saw bersabda:
“ Sesungguhnya semua kebajikan diketahui melalui akal”.[15]
Imam Ali as berkata:
“Akal adalah merupakan modal alami manusia, melalui belajar dan pengalaman akal dapat bertambah”.[16]
“Akal adalah agama dalam (hujjah bathin) bagi manusia sebagaimana syari’at (hujjah zahir) sebagai agama luar bagi manusia”.[17]
“Akal terbagi kepada dua bagian, akal alami (tabi’i) dan akal yang dihasilkan melalui pengalaman (tajrubi) yang mana hasil keduanya adalah menguntungkan manusia”.[18]
“Akal petunjuk kebenaran”.[19]
Dan siapakah orang yang berakal? Imam Ali as dan Imam Ja’far as memberikan ciri-ciri bagi mereka yang berakal. Imam Ali as berkata:
“Orang berakal bukan hanya sekedar dapat membedakan kebaikan dari keburukan, tapi orang berakal adalah orang yang dapat membedakan kebaikan diantara dua keburukan”.[20]
“Orang yang berakal adalah orang yang meletakan sesuatu pada tempatnya”.[21]
Imam Ja’far Shadiq as berkata:
“Orang yang berakal adalah orang yang mengetahui (situasi dan kondisi) zamannya, posisi (diri)-nya dan menjaga lisannya”.[22]
Melihat hadis-hadis di atas, secara umum, yang dimaksud dengan akal adalah parameter bagi manusia untuk membedakan kebaikan dan keburukan. Dalam hal ini tergantung pada perempuan dan laki-laki itu sendiri sebagai pemilik akal. Beberapa kalangan menyebutkan bahwa salah satu bukti kurangnya akal perempuan adalah kesaksian dua perempuan sama dengan kesaksian seorang laki-laki. Benarkah demikian? Bagaimanakah menurut al-Qur’an?
Dalam al-Qur’an disebutkan, salah satu hikmah dari kesaksian dua orang perempuan yang sama dengan seorang laki-laki adalah, jika salah satu dari perempuan itu lupa maka yang lain dapat mengingatkannya. Sebagaimana yang telah disinyalir dalam surat al-Baqarah ayat:282. Itu berarti al-Qur’an melontarkan persoalan lupa yang secara umum lebih cepat dialami oleh perempuan daripada laki-laki. Tidak dapat dipungkiri lupa merupakan salah satu bentuk kekurangan, tapi bukan berarti sebuah kekurangan yang menyebabkan manusia tidak dapat mencapai kesempurnaan sejati (hakiki) seperti yang dikehendaki Tuhan.
Dari sisi lain, akal manusia jika dilihat dari fungsi dan kegunaannya terbagi atas dua: “akal teoritis” (aql nadzari) yang berfungsi sebagai sumber proses berpikir. Dan “akal praktis” (aql amali) yang dengannya manusia dapat menerima setiap konsep sehingga dapat diaplikasikan dalam prilaku. Akal teoritis berhubungan dengan permasalahan pemikiran, pandangan, berargumentasi dan sebagainya. Adapun akal praktis bersangkutan dengan perihal penerimaan, kecenderungan, kerja keras, dan lain-lain.[23] Sebagaimana terdapat di dalam kitab Ushul-Kafi, pembahasan dalam kitab tersebut adalah masalah “akal dan bala tentaranya dan kebodohan (jahl) beserta bala tentaranya”, dan yang dimaksud dengan akal di sini adalah akal praktis.
Pada dasarnya antara kedua jenis akal tersebut terdapat jarak yang jauh, oleh karenanya sering kita lihat manusia berilmu tapi tidak beramal atau beramal tanpa dilandasi ilmu. Menurut pendapat pertama, maksud dari ungkapan “wanita memiliki lemah akal” adalah, lemah dari sisi akal teoritis.[24] Ini berarti, daya berargumen dan berpikir laki-laki lebih kuat dari perempuan. Untuk menguatkan persepsinya mereka berdalih dengan menggunakan ayat al-Qur’an, adz-Dzuhruf ayat 18, ketika memberikan jawaban kepada Arab jahiliyah tentang keyakinan malaikat sebagai anak perempuan Tuhan:
“Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang ia tidak dapat memberi alasan yang kuat dalam berargumen”.
Pada zaman jahiliyah, jika masyarakat tidak membunuh anak perempuan niscaya mereka akan mendidiknya dengan berbagai corak dandanan dan perhiasan. Cara mendidik semacam ini menyebabkan kemampuan berpikir, yang didapat melalui akal teoritis anak-anak perempuan tersebut tidak dapat berkembang. Allah swt dalam ayat di atas telah mencela metode pendidikan seperti itu. Berargumen dengan ayat di atas untuk merendahkan martabat wanita sangatlah tidak tepat, karena hukum semacam itu tidak dapat digeneralisasikan. Hanya perempuan yang dididik dengan metode yang salah tadi saja yang dicela oleh Allah.[25]
Beberapa kalangan berpendapat akal empiris (aql tajrubi) perempuan tidak sekuat kaum lelaki, karena tugas utama wanita adalah melahirkan dan mendidik anak, sehingga kesempatan untuk mendapatkan pengalaman antara laki-laki dan perempuan berbeda. Jadi perbedaan bukan terletak pada sisi alamiah akan tetapi lebih dikarenakan pembagian kerja antara mereka.[26]
Sebagian lagi berpendapat, yang dimaksud dengan akal dalam riwayat di atas bukanlah tertuju pada kemampuan akal itu sendiri, akan tetapi lebih ditekankan pada cara berpikir pemilik akal. Dengan kata lain, letak perbedaan bukan pada esensi akal tetapi pada pengaktifan potensi akal. Perempuan jarang menganalisa suatu peristiwa dengan akalnya, ini semua dikarenakan jiwa emosional lebih mendominasi dirinya. Sementara untuk berpikir yang benar dibutuhkan suasana tenang dan penguasaan terhadap kestabilan emosional. Di sisi lain karena emosional laki-laki lebih rendah dibanding perempuan maka ia lebih cepat dapat menguasai dirinya. Oleh karena itu, jika ada seorang perempuan mampu mengendalikan emosionalnya maka ia pun dapat berpikir dan menganalisa dengan baik. Jelas sekali, jiwa emosi tidak selamanya buruk. Karena ketika Tuhan menganugrahkan jiwa emosional secara ekstra kepada wanita pastilah didasari alasan tertentu, salah satunya peran ibu yang memerlukan emosi yang lebih. Jelas, jiwa emosional harus ditempatkan pada tempatnya.[27]
Berdasarkan jawaban-jawaban dia atas, secara ringkas dapat kita mengambil beberapa kesimpulan.
Pertama, andaikan hadis tersebut tidak bermasalah dari segi sanad (silsilah para perawi), maka maksud dari hadis di atas bukan tertuju pada substansi perempuan yang dinyatakan lemah iman, karena kalau menunjukkan substansinya maka tidak akan ada satupun perempuan yang mencapai kesempurnaan. Sementara realitanya betapa banyak perempuan yang mencapai kesempurnaan bahkan ia lebih tinggi derajatnya dari para lelaki sebagaimana yang dapat kita lihat dari beberapa ayat dan hadis yang telah disebut di atas.
Kedua, hadis di atas tidak berkenaan dengan semua perempuan, tapi situasi dan kondisilah yang menyebabkan Imam Ali as ketika dalam perang Jamal mengatakan hal itu (lihat kembali kitab Nahjul-Balaghah khutbah ke-80). Dengan istilah lain, ungkapan Imam Ali as berkaitan dengan proposisi eksternal (qadziyqh-kharijiyah) yang maksudnya tidak mencakup semua perempuan secara universal.
Tetapi mungkin muncul pertanyaan lain, kalaulah hadis tersebut tidak mencakup semua perempuan dan merupakan proposisi eksternal lantas kenapa dalam riwayat tersebut kata”nisa” (berarti: perempuan) memakai alif-lam sehingga dibaca ‘an-nisa’. Sementara dalam kaidah bahasa Arab penggunaan alif-lam istighraq digunakan untuk menunjukkan umum dan mencakup semua yang sejenisnya, apakah ini tidak terjadi kontradiksi?
Secara ringkas dapat dijawab bahwa, memang maksud riwayat tersebut tidak mencakup semua perempuan dan maksud dari perkataan Imam Ali as ialah perempuan pada peristiwa perang Jamal, akan tetapi beliau ingin mengisyaratkan bahwa jika ada perempuan yang melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh perempuan di perang Jamal itu maka hadis tersebut pun akan mencakup perempuan itu.
Musyawarah dalam Perspektif al-Qur’an
Masalah terakhir yang akan dianalisa adalah berkenaan dengan larangan musyawarah dengan perempuan, apakah maksud sebenarnya dari hadis tersebut? Apakah secara mutlak tidak dapat bermusyawarah dengan perempuan? Tidak diragukan lagi, bahwa dampak positif yang dihasilkan dari musyawarah, diantaranya dapat ditemukannya jalan keluar terbaik, kemampuan manusia semakin berkembang, mengokohkan jalinan kerjasama antara sesama dan sebagainya. Al-Qur’an sebagai kitab pedoman bagi umat Islam menekankan untuk bermusyawarah dalam menyelesaikan sebuah perkara, sebagaimana yang dapat kita simak dalam ayat berikut ini:
“…Sedang urusan mereka (diputuskan) melalui musyawarah…”, [28]
“…Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu…”.[29]
Kedua ayat di atas bersangkutan dengan perintah musyawarah secara umum, artinya mencakup musyawarah antara laki-laki dengan perempuan ataupun sebaliknya. Dalam kaidah bahasa Arab, ketika suatu ungkapan yang obyeknya adalah laki-laki dan perempuan, maka ia akan menggunakan kata ganti (dzamir) laki-laki (mudzakar). Namun, dalam beberapa ayat dengan jelas memerintahkan musyawarah dengan perempuan seperti yang dapat kita simak dari ayat berikut ini:
“…Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun), dengan kerelaan keduanya dan permusyawarahan maka tidak apa-apa atas keduanya.[30]
Ayat tersebut sebagai bukti atas anjuran bermusyawarah dengan perempuan dalam urusan keluarga.
Adapun berkenaan dengan politik, kita lihat dalam ayat yang menjelaskan kisah Ratu Balqis ketika bermusyawarah dengan anggota dewan permusyawaratan kerajaan untuk mengambil keputusan dalam rangka menghadapi usulan Nabi Sulaiman as:
“Dia (Balqis) berkata: “Wahai para pembesar berilah aku pertimbangan dalam urusan-ku, aku tidak pernah memutuskan sesuatu perkara sebelum kamu berada dalam majlisku”.[31]
Lalu, para dewan permusyawaratan itu mengusulkan untuk mengirim pasukan:
“Mereka menjawab: “Kita adalah orang yang memiliki kekuatan dan juga keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan keputusan ada di tanganmu; maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan”.[32]
Setelah mendengar pendapat para anggota dewannya, Ratu Balqis pun memberikan sebuah usulan:
“Balqis berkata; “Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negri, niscaya mereka membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikianlah yang akan mereka perbuat. Dan sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan membawa hadiah, dan aku akan menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu”.[33]
Berdasarkan ayat di atas, Allah menjelaskan bahwa pendapat Ratu Balqislah yang benar dan yang dapat menghantarkan untuk mendapat hidayah, sehingga Ratu Balqis berkata:
“Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah Tuhan semesta alam”.[34]
Sirah Para Nabi dalam Bermusyawarah dengan Perempuan
Di sini kita hanya menukil beberapa kisah dari para nabi saja diantaranya:
Kisah putri Nabi Syuaib as. Ketika salah satu putri Nabi Syuaib as mengusulkan untuk memperkerjakan Nabi Musa as, seperti yang dinukil dalam ayat berikut ini:
“Wahai bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”.[35]
Yang patut diperhatikan dari kisah tersebut ialah, putrid Nabi Syuaib as melontarkan pendapat kepada ayahnya disertai dengan argumen yang logis.
Kisah Sarah, istri Nabi Ibrahim juga menjelaskan bagaimana Islam memandang seorang perempuan, sebagaimana yang diriwayatkan dari Imam Ja’far Shadiq as. Sarah mengusulkan agar Nabi Ibrahim as memohon keturunan kepada Allah dan berkata:
“Wahai Ibrahim, usiamu telah lanjut jika engkau memohon kepada Allah rizki berupa anak yang akan menjadi penyejuk mata kita…lantas Ibrahim memohon kepada Allah agar dianugrahi seorang anak lelaki yang pandai, kemudian Allah mewahyukan kepadanya: “Sesungguhnya aku telah menganugrahkan kepadamu seorang anak lelaki yang pandai”.[36]
Kisah Nabi Muhammad saw beserta Ummu Salamah. Saat itu Rasul bersama para pengikutnya hendaknya menziarahi Ka’bah, tapi karena Mekkah masih dikuasai orang-orang kafir dan mereka tidak memberikan izin kepada Rasul beserta pengikutnya untuk berziarah. Akhirnya terbentuklah sebuah perjanjian damai dimana kaum muslimin harus kembali ke Madinah dan tahun depan mereka baru dapat menzaiarahi Ka’bah. Setelah menandatangani surat perjanjian tersebut, kemudian Rasul memerintahkan pengikutnya untuk menyembelih binatang kurban dan mencukur rambut di tempat tersebut, tapi mereka tidak mendengarkan perintah Rasul. Rasul merasa sedih terhadap pembangkangan yang dilakukan oleh sebagain sahabat beliau, lantas beliau menceritakan perkara tersebut kepada Ummu Salamah. Lalu Ummu Salamah mengusulkan kepada beliau untuk memulainya terlebih dahulu sehingga akhirnya pengikut beliau pun dapat mengikutinya. Rasul melaksanakan apa yang disarankan oleh Ummu Salamah, ketika Rasul berkurban dan mencukur rambutnya lalu para pengikutnya melakukan apa yang telah beliau lakukan.[37]
Dari penjelasan di atas maka ungkapan Iman Ali as yang mengatakan “Jauhilah bermusyawarah dengan perempuan, kecuali dengan perempuan yang dikarenakan mempunyai kesempurnaan akal maka ia telah berpengalaman”[38]turut menguatkan argumen di atas. Pelarangan musyawarah tersebut lebih dikarenakan situasi kondisi wanita saat itu dan bukan pelarangan yang bersifat substansial atas wanita sebagaimana yang dapat kita ketahui dari hadis terakhir.[islamalternatif.com]
Wallahua’lam
Penulis: S2 Jurusan Tafsir al-Quran di Universitas Bintul Huda Qom, Republik Islam-Iran
Rujukan: Rujukan selengkapnya ada pada Redaksi www.islamalternatif.com
________________________________________
[1] Kermani, Syarah Bukhari, 1937-1981,
Beirut: Daaru al-Ihyai at-Turaatsu al-Arabi, jilid 18, Bab Nikah,
hal: 75
[2] Ray Syahri, Muhamad, Miza al-Hikmah, 1416,
Qom: Maktabu al-a’laami al-Islamii, jilid 9, hal: 107
[3] Bobawaeh, Muhamad (Syeikh Shaduq), Man Laa Yahdzur Faqih,
Beirut: Daaru al-Adzwaa, jilid 3, hal:
281, bab 11, hadis ke-6, dan Dar at-Ta’aruf lil Matbu’at, Nahjul-Balaghah wa Mu’jam al-Mufahrast
li Alfadzihi, 1990,
Beirut, Khutbah ke-80, hal: 63
[4] Al-Hur al-Amilii, Muhamad bin Husain, Wasa’il as-Syi’ah, 1413 H,
Beirut: Daaru-al-Ihyai at-Turotsu
al-Arabi, jilid 14, hal: 131, hadis ke-25370
[5] Echols, jhon dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, 1986,
Jakarta, Gramedia, hal: 382
[6] Partanto, Pius A. dan al-Barry M Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, 1994,
Surabaya: Arkola hal:473
[7] Bobawaeh, Muhamad (Syeikh Shaduq), opcit, jilid 3, hal:281, bab 11, hadis ke-6
[8] Al-Hur al-Amili, Muhamad bin Husain, opcit, Khitbah ke-80, hal:63
[9] Khaz Ali, Kubra dkk, Zan, Aql, Iman Masywerat, 1380,
Qom: Safir Subh, hal: 231
[10] Al-Musawi al-Khumaeni, Ruhullah, Tahrirul-Wasilah, 1408 H,
Qom: Muaseseye Ismoiliyon, jilid 2,
hal: 13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LPJ BOS SMK Tahun Anggaran 2020

LPJ BOS SMK Tahun Anggaran 2020 User via SMS :  0857 5954 7892 FB :  https://web.facebook.com/iwan.kurniawanb Twitte...