Buku “Sosiologi dan Filsafat” yang terbit pertama kali tahun 1989
oleh Penerbit Erlangga Jakarta ini merupakan terjemahan dari buku yang berjudul
asli “Sociology and Philosophy”.Adapun “Sociology and Philosophy” merupakan
produk alih bahasa dari sebuah buku yang berisis kumpulan makalah berbahasa
Prancis karya Emile Durkheim di bawah judul “Sociologie et Philosophy”.
Menurut J.G. Peristiany, karya-karya Emile Durkheim yang
terkompilasi dalam buku ini dapat disebut sebagai Esei dalam spiritualisme.
Pendapat ini—menurutnya—didasari oleh tesis yang diajukan oleh Durkheim:
masyarakat adalah suatu sistem dinamis dan merupakan landasan berpijak
kehidupan moral.
Selanjutnya, untuk lebih mendalam dalam memahami karya
Durkheim—yang oleh Talcott Parsons disebut sabagai seorang dari dua pendiri utama
era sosiologi modern (yang satunya adalah max Weber—berikut ini adalah resume
dari beberapa makalah karya Durkehim yang dibukukan dalam satu judul buku
“Sociology and Philosophy”.
Representasi Individu dan Representasi Kolektif, Absurditas
Pelekatan Ide kepada Sel
Eksistensi ingatan cukup untuk menyatakan bahwa representasi
kehidupan tidaklah inheren dalam zat saraf; sebab ia memiliki cara berada diri
sendiri, dan berdasarkan kekuatan-kekuatannya sendiri. Karena reaksi-reaksi
unsur otak satu sama lain diterima dan ditekan oleh ingatan, bukan satu-persatu
tetapi secara keseluruhan dalam apa yang dapat dinamakan sebagai eksistensi
komunal. Bilamana ada kehidupan komunal, maka akan terdapat dampak-dampak yang
jauh melampaui pengaruh unsur-unsur. Itulah sebabnya, dengan cara yang sama
bisa dikatakan bahwa pengetahuan tentang apa saja yang berlangsung dalam
pikiran individu tidak memberikan kunci untuk mengetahui apa yang ada dalam
pikiran kolektif.
Moral berawal dari
anggota suatu kelompok dan ketika dia dianggap menempatkan individu lebih
rendah dibanding kewajiban sosial dan waktu menunjukkan bahwa dewasa ini
kewajiban utama manusia ialah melaksanakan kewajiban profesionalnya. “Masyarakat bukanlah sebuah sistem organ
fungsi tetapi merupakan pusat kehidupan moral”.
“Fungsi masyarakat yang sebenarnya ialah menciptakan ideal”. Oleh karena
itu, masyarakat membentuk suatu pusat asal melalui mana hakikat melintas untuk
kemudian melampaui dirinya sendiri.
Filsafat dan
Fakta Moral
Tujuan yang selalu ingin dikejar dan dicapai oleh para
filsuf moral sepnjang zaman sangat berbeda sifatnya. Sebab mereka tidak pernah
mengarah pada suatu tujuan representasi tertentu, tanpa menambah atau
mengurangi realitas moral yang ada. Ambisi para filsuf moral seringkali adalah
membangun moralitas baru, yakni suatu moralitas yang berbeda dalam tema
esensial dengan yang dianut oleh rekan mereka atau para pendahulu mereka. Mereka itu biasanya revolusioner atau
pemberontak. Sedang persoalan yang dibahas adalah bagaimana menemukan kandungan
moralitas. Bukan kandungan sebagaimana dipandang oleh filsuf tertentu, tetapi
kandungan sebagaimana dipandang oleh kemanusiaan dalam wujud diri kolektif.
Dari sudut pandang ini, doktrin-doktrin para filsafat tadi kehilangan sebagaian
besar nilainya.
Namun adalah sangat
keliru untuk beranggapan bahwa para filsuf itu terabaikan. Yang ditolak adalah:
hak istimewa dan keutamaan yang sering diberikan pada mereka. Mereka mengajari
tentang fakta, mengajarkan tentang apa yang
ada dalam pikiran publik pada kurun waktu tertentu, dan oleh karena itu
seharusnya mereka bisa memberikan penjelasan yang memadai. Yang tidak disetujui
adalah: mereka mengungkapkan kebenaran moral dengan cara yang sangat
muluk-muluk sebagaimana pakar fisika atau kimia menyatakan kebenaran tentang
susunan suatu benda di bawah judul fisiko-kimiawi. Konsepsi para filsuf dan
moralis telah banyak membantu untuk memasuki lebih jauh lagi analisis kita
tentang ilmu masyarakat (kesadaran komunal) menuju lapisan dimana arus yang
usang dan separuh sadar tersebut diteliti.
Pertimbangan Nilai dan Pertimbangan Realitas
Segala sesuatu yang bernilai, dalam batas tertentu
adalah baik. Segala sesuatu yang baik berarti diinginkan. Dan semua keinginan
adalah keadaan psikologis. Namun demikian, nilai mempunyai obyektivitas.
Bagaimanakah kedua ciri (Pertimbangan Nilai dan Pertimbangan Realitas)
yang sekilas bertentangan ini dapat dikombinasikan; bagaimana seseorang
menyatakan suatu keadaan perasaan, terlepas dari orang yang merasakannya?
Terhadap permasalahan ini ada beberapa tawaran jawaban yang bertentangan.
Bagi mayoritas
pemikir dari beragam aliran, perbedaan antara kedua jenis pertimbangan jelas
sekali: setiap obyek mempunyai nilai inheren (berhubungan erat), dan
pertimbangan nilai mengungkapkan tidak lebih dari sekadar pengaruh ciri khas
obyek pertimbangan itu terhadap penilai. Jika pengaruhnya digemari, maka obyek
diberi nilai positif, jika tidak, nilai negatif. Jika kehidupan bernilai bagi
manusia, itu karena manusia merupakan makhluk hidup—dan sudah merupakan sifat
makhluk hidup untuk hidup.
Nilai terdiri dari
pengaruh yang dihasilkan oleh sesuatu benda terhadap sensibilitas, padahal
sensibilitas tiap-tiap orang sangat berbeda. Sementara orang gemar terhadap
sesuatu sedang orang lain justru jijik. Kehidupan pun tak diinginkan semua
orang, sebab ada orang yang membunuh—entah karena kewajiban atau kebencian.
Bagaimanapun terdapat banyak ragam untuk menghayatinya. ada yang menyukai
nilai yang intens dan komplek, ada yang
justru menyukai kesederhanaan.
Dapat dikatakan
bahwa ada tipe rata-rata dalam
mayoritas individu, dan bahwa penilaian obyektif terhadap sesuatu obyek
menunjukkan dampak obyek tersebut terhadap rata-rata individu. Oleh karena itu,
tidak dapat melihat pada orang rata-rata tersebut untuk menemukan standar
moralitas. Alasan lain mengapa evaluasi subyektif dan evaluasi rata-rata tidak
boleh dicampuradukkan adalah bahwa reaksi rata-rata individu tetap merupakan
reaksi idividu. Karena suatu kondisi tertentu selalu ditemukan bersama sebagian
terbesar orang. Dengan alasan ini tidak bisa dikatakan bahwa evaluasi rata-rata
adalah obyektif.
Dalam hal ini,
nilai diperoleh dari cara bagaimana benda memengaruhi subyek kolektif, dan
bukan subyek individu. Taksiran menjadi obyektif bila ia telah memiliki sifat
kolektif. Maka dapatlah dijelaskan bahwa kesadaran akan kendala eksternal
berlaku bila seseorang membuat suatu penilaian.
Aspek pertimbangan
nilai bukanlah satu-satunya sebab ada pertimbangan lain yang bertentangan dengan
pertimbangan ini. Nlai-nilai yang sama—yang di satu pihak mempunyai pengaruh
realitas—di lain pihak tampak sebagai sesuatu yang disukai dan secara alamiah
diinginkan. Satu fakta: masyarakat pada saat yang sama bertindak sebagai
legislator sekaligus sebagai pencipta dan pelindung semua hasil peradaban.
Ada beberapa jenis
nilai yang berbeda. Nilai ekonomi, moral, agama, estetika, dan nilai
spekulatif, semuanya berbeda. Usaha mereduksi suatu nilai menjadi nilai lain,
ide tentang kebaikan, kecantikan, kebenaran, dan kegunaan, semuanya telah
terbukti gagal. Jika apa yang menentukan nilai hanyalah cara sesuatu benda
memengaruhi bekerjanya kehidupan sosial, maka keragaman nilai menjadi sukar
dijelaskan. Dan juga, jika nilai suatu benda ditentukan oleh tingkat kegunaan
sosial atau kegunaan individualnya, maka sistem nilai manusia akan goncang dan
berubah dari atas ke bawah.
Selanjutnya
ditemukan bahwa semua orang sepakat mengandalkan bahwa nilai suatu benda adalah
inheren di dalam, dan menunjukkan hakikat benada itu. Tetapi postulat ini
bertentangan dengan kenyataan. Ada banyak keadaan di mana hubungan itu seperti
tidak ada di antara ciri khas suatu obyek dengan nilai yang diatribusikan
kepada obyek itu.
Teori yang berlaku
sekarang, bahwa benda yang menjadi obyek suatu kultus adalah benda yang
memunyai kekuatan pengaruh kepada pikiran manusia, adalah bertentangan dengan
sejarah. Nilai tak sebanding yang diatribusikan kepada obyek tersebut tidak ada
hubungannya dengan nilai intrinsik obyek tersebut. Tidak ada keyakinan aktif,
betapa pun sekulernya, yang tidak mengandung unsur-unsur pemujaan, dimana
ketidakberimbangan mencolok serupa dapat ditunjukkan. Sebuah bendera hanyalah
potongan kain; namun demikian seorang prajurit bersedia mati demi
memertahankannya. Moralitas juga tidak kurang
kayanya dengan kontras –kontras semacam ini. Maka tidak dapat
disangsikan bahwa persamaan moral adalah suatu ideal yang tidak akan pernah
tercapai, walau pun terus saja diangankan bisa mendekatinya.
Ritschl dan Kant
mengemukakan teori: kalau nilai benda tidak terletak pada benda itu, dan tidak
pula dengan sifat realitas empiriknya, berarti sumber nilai benda tersebut
terletak di luar pengalaman dan secara empirik dapat diverifikasi.
Benda dikatakan
memunyai nilai bila benda tersebut menunjukkan suatu aspek ideal, sedang
tinggi-rendah nilai tersebut bergantung pada ideal itu da paa tingkat mana ia
mewujudkan ideal itu. Namun demikian, nilai yang diatribusikan kepada ideal
itu, tidaklah menjelaskan dirinya sendiri. Ia dipostulasikan, tetapi tidak
menjelaskan. Jika ideal itu bergantung pada realitas, maka mustahil untuk untuk
menemukan dalam realitas kondisi dan penyebab
yang membuatnya dapat diterima dengan akal.
Singkatnya, jika
nilai suatu benda tidak dapat dan tidak pernah ditaksir kecuali dalam
hubungannya dengan konsepsi tertentu tentang ideal, maka yang terakhir ini
perlu dijelaskan. Agar dapat mengerti bagaiman pertimbangan nilai bisa muncul,
tidak cukup hanya dengan mempostulasikan bahwa ada sejumlah ideal tertentu.
Asal-usulnya, bagaiman kaitannya satu sama lain, transendensinya,
pengalamannya, dan sifat obyektivitasnya harus turut dipertimbangkan.
Karena ideal-ideal
dan sistem-sistem nilai yang berkaitan beragam sesuai dengan keragaman kelompok
manusia, maka kesannya adalah asal-usul keduanya sama. sebuah teori menyatakan
bahwa masyarakat dianggap sebagai sebuah sistem organ dan fungsi, yang bertugas
memelihara dirinya terhadap perusak dari luar. Tetapi masyarakat lebih dari
gambaran ini sebab masyarakat merupakan pusat kehidupan moral, hanya saja
kekuatan dan independensinya belum dikenal sepenuhnya.
Bila
pikiran-pikiran individu tidak terpisah tetapi merupakan hubungan erat dan
saling memengaruhi satu sama lain, maka dari sintesis ini timbullah suatu jenis
baru kehidupan fisik. Kehidupan fisik ini dapat dibedakan intensitasnya dengan
kehidupan fisik masing-masing individu. Oleh karena alasan ini, aktivitas
tersebut secara kualitatif berbeda dengan kehidupan sehari-hari individu,
seperti perbedaan antara superior dengan inferior, cita-cita dengan fakta. Pada
saat pembiakan kolektif inilah dilahirkan cita-cita besar yang merupakan dasar
peradaban.
Jika manusia mampu
menyusun cita-cita atau bisa juga tidak mampu menyusun tetapi terikat
kepadanya, adalah karena manusia merupakan makhluk sosial. Masyarakat
menggerakkan atau memotori individu agar bangkit mengangkat dirinya sendiri dan
memberinya sarana untuk bisa mencapai hal ini. Melalui kesadarannya sendiri,
masyarakat menggerakkan individu untuk mentransendensikan dirinya dan ambil
bagian dalam kehidupan yang lebih tinggi. Masyarakat tdak dapat dibentuk tanpa
membentuk cita-cita. cita-cita itu sendiri adalah suatu kekuatan dari alam dan
karenanya dapat dikaji secara ilmiah.
Cita-cita kolektif
hanya dapat dimanifestasikan dan sadar akan dirinya sendiri jika dikonkretkan
dalam obyek materiil yang dapat dilihat oleh setiap orang dan bisa ditunjukkan
pada setiap pikiran. Dua benda pada adasarnya bisa saja berbeda berbeda atau
dilihat dari sudut pandang tertentu tidak sama, tetapi jika mereka mewujudkan
cita-cita yang sama maka mereka itu tampaknya sama. Dengan kata lain,
masyarakat mensubstitusikan dunia yang ditampilkan oleh indra dengan dunia yang
berbeda yang merupakan proyeksi cita-cita yang diciptakan oleh masyarakat itu
sendiri.
Dari uraian di atas
dapat dilihat bahwa tidak ada perbedaan hakikat. Pertimbangan nilai menunjukkan
hubungan sesuatu dengan suatu cita-cita. Cita-cita—seperti halnya benda—adalah
suatu realitas yang mempunyai eksistensi tersendiri, walaupun dalam tatanan
yang berbeda. Hubungan yang ditunjukkan ini menyatukan dua persyaratan seperti
yang berlaku dalam pertimbangan realitas. Jadi, unsur-unsur pertimbangan sama
pada keduanya. Namun tidak berarti bahwa keduanya dapat direduksi satu sama
lain; mereka serupa karena keduanya adalah produk dari kemampuan yang sama.
Sosiologi positif
dituduh hanya memuja fakta dan secara sistematis mengabaikan cita-cita. Dan
tuduhan ini tidak benar. Fenomena sosial utama, agama, moralitas, hukum,
ekonomi, dan estetika, semua itu tidak lebih dari sistem nilai dan karenanya
sistem cita-cita. Sejak semula sosiologi bergerak dilapangan cita-cita.
Sosiologi tidak menghimpun fakta untuk membangun cita-cita, tetapi sebaliknya,
menerima mereka sebagai fakta yang ada, sebagai obyek studi, dan mencoba
menganalisis dan menjelaskan. Maka tujuan sosiologi adalah membawa cita-cita,
dalam berbagai bentuknya, ke lingkungan alam tanpa memasukkan
atribut-atributnya yang khas. Masyarakat memang merupakan bagian dari alam dan
ia kini mendominasi alam. Semua kekuatan semesta tidak hanya berkumpul dalam
masyarakat, tetapi mereka juga membentuk sintesis baru yang jauh lebih kaya,
lebih kompleks, dan lebih kuat daripada masing-masing kekuatan tersebut.
Singkatnya, masyarakat adalah alam yang mencapai titik lebih tinggi dalam
perkembangannya, dan memusatkan segala enerjinya untuk melampaui dirinya
sendiri.
Simpulan: Sosiologi yang Menghidupkan Kembali Filsafat
Tulisan-tulisan yang terkumpul dalam buku ini mempunyai
satu persamaan, sebab mereka memperlihatkan pandangan/pemikiran Durkheim, bukan
hanya pandangannya tentang waktu masalah sosiologi tertentu tetapi juga
mengenai masalah-masalah umum yang dihadapi para filsuf, yakni hubungan antara
jiwa dengan materi, kesadaran dengan hakikat, nalar dengan perasaan.
Tulisan-tulisan tersebut menunjukkan pada dalam hal apa dan sampai sejauh mana
sosiologi bisa menghidupkan kembali filsafat.
Pandangan-pandangan Durkheim yang tertuang dalam tulisan
dalam buku ini telah menunjukkan sejauh mana filsafat Durkheim berbeda dengan
filsafat materialis dan organisis. Dalam artian ini, sosiologisme Durkheim
terlihat lebih jauh lagi dan merupakan suatu usaha untuk menemukan dan
membenarkan—dengan cara baru—kecenderungan-kecenderungan spiritialisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar