Konsep
takdir, selalu menjadi perdebatan dan pertanyaan banyak orang. Belakangan ini,
saya cukup banyak menemukan pertanyaan atau pun diskusi-diskusi tentang takdir.
Bagi Umat Islam, Takdir merupakan bagian daripada Aqidah, karena merupakan
bagian daripada Iman terhadap Qadla dan Qadar, dimana kata Takdir ini merupakan
kata yang berasal dari Qadar. Karenanya, pemahaman tentang takdir ini sangat
penting bagi seorang muslim. Sebab, pemahaman akan takdir ini akan menentukan
arah dan sikap seorang muslim terhadap berbagai hal yang terjadi selama
hidupnya. Karenanya, banyak juga ulama-ulama yang membahas konsep takdir ini
dalam buku yang mereka buat.
Mengenai
takdir ini, terdapat 3 golongan yang memahaminya secara berbeda. Golongan
pertama, yang berpendapat bahwa manusia itu tidak bebas sama sekali, apa yang
kita lakukan, sudah ditentukan oleh ALLAH. Golongan yang kedua, berpendapat
bahwa kita sangat bebas, apa pun yang kita lakukan, tidak ada campur tangan
Tuhan sama sekali. Dan golongan terakhir yang berpendapat bahwa apa pun yang
kita lakukan semuanya ada dalam aturan-aturan Allah, ada campur tangan Allah,
tapi kita pun memiliki pilihan untuk melakukan sesuatu.
Saya
sendiri, jauh sebelum mengenal konsep takdir, memiliki pemahaman tersendiri
berdasarkan hasil berfikir dan merenung. Dalam buku Pengajaran Agama Islam
karya HAMKA, disebutkan bahwa arti Qadla itu adalah aturan, sedangkan Qadar
adalah ukuran. Jauh sebelum membaca buku tersebut, saya berfikir bahwa segala
hal yang ada di muka bumi ini, tunduk pada hukum sebab-akibat. Buat saya,
pemahaman terhadap Qadla dan Qadar itu sederhana saja. Apapun yang terjadi di
bumi ini, pasti ada sebabnya, bahkan kematian, rezeki dan jodoh pun tunduk pada
hukum ini. Dalam buku tersebut juga dikatakan bahwa hukum sebab-akibat ini lah
yang kemudian disebut dengan Sunatullah. Dalam ajaran Islam, segala yang ada di
muka bumi ini mengikuti Sunnatullah, aturan Allah. Itulah Qadla. Sedangkan
Qadar adalah ukuran dari aturan-aturan tersebut. Besar-kecil (ukuran) usaha
atau ikhtiar dalam mengikuti aturan tersebut akan menentukan hasil, karenanya
hasil dari usaha inilah yang disebut dengan takdir.
Saya
tidak pernah berfikir bahwa Allah mengatur kehidupan manusia ini seperti kita
memainkan catur. Tidak seperti itu. Karenanya, saya tidak setuju dengan
golongan yang pertama. Buat saya, campur tangan Allah itu ada pada
aturan-aturan yang Dia buat. Dan kita, sebagai manusia, ada dalam aturan-aturan
tersebut, sehingga kita pun tidak bebas sama sekali dari campur tangan Allah.
Karenanya, saya pun tidak sepakat dengan golongan yang kedua. Lalu, aturan yang
seperti apa kah yang sudah Allah tentukan ? Segala macam aturan. Tidak hanya
tentang aturan bagaimana hidup yang benar, tapi juga aturan-aturan terhadap
alam semesta. Umur, mati, sehat, sakit, tua, rusak, itulah aturan-aturan Allah.
Contoh
sederhananya begini, kita tahu, semakin tua umur suatu tali, akan semakin lapuk
dan kemampuan untuk mengangkat dan menahan bebannya pun akan semakin berkurang,
inilah Qadla. Katakanlah, jika dulu tali tersebut sanggup menahan berat 200 Kg
selama berjam-jam, maka sekarang tali tersebut hanya mampu menahan beban
seberat 50 Kg, itupun kurang dari 2 jam, inilah Qadar. Masalahnya adalah, kita
tidak pernah tahu berapa beban yang sanggup tali tersebut tahan dan berapa
lama, yang kita tahu, bahwa tali tersebut sudah tua dan lapuk. Karenanya, jika
ingin selamat dari kecelakaan, ketika mengangkat benda dengan tali, atau ketika
kita bergelantungan dengan tali, adalah dengan menghindari penggunaan tali yang
tua tersebut. Kita tidak bisa menantang aturan Allah dengan nekat menggunakan
tali tersebut dengan beban melebihi kemampuan tali. Karenanya, ketika kita
nekat menggunakan tali tersebut, kemudian kita celaka, tidak bisa kita
mengatakan,”Ini adalah ujian dari Allah…”, tidak seperti itu. Karena, Allah
sudah memberikan kepada manusia akal untuk digunakan memahami aturan-aturan
Allah tersebut, jika kemudian kita menentang akal kita sendiri, dan kemudian
terjadi kecelakaan, itu akibat kelakuan kita sendiri. Bukan karena Allah yang
melakukan. Karenanya, kita harus intorspeksi, tidak bisa kita menyalahkan
Allah. Takdir kita celaka, karena perbuatan kita sendiri. Allah sudah tentukan
Qadar pada tiap aturan tersebut. Karenanya, kita harus menggunakan akal kita
untuk memahami aturan tersebut dan memilih ketika melakukan sesuatu.
Kematian
pun mengikuti aturan ini. Contoh pada kasus bunuh diri. Bisa jadi, orang yang
melakukan bunuh diri belum saat nya mati. Bisa jadi, Allah sudah menentukan
hari kematiannya di waktu yang lain. Tapi, akan menjadi berantakan segala
aturan yang ada jika kemudian, misalnya, ada orang yang mencoba bunuh diri
dengan minum baygon sampai ber-galon-galon, atau mencoba memegang setrum
tegangan tinggi selama berjam-jam, masih hidup juga, alasannya, karena Allah
belum menentukan hari kematiannya saat itu. Tidak seperti itu. Allah tidak akan
sekonyol itu. Allah memang sudah menentukan saat kematian seseorang, tapi Allah
pun tidak akan membiarkan aturan yang Dia buat menjadi berantakan. Karenanya,
orang tersebut “harus” mati, agar aturan Allah tersebut tetap berjalan
sebagaimana mestinya. Meskipun, sebetulnya, bukan saatnya dia mati. Karena itu
lah, Allah melaknat orang-orang yang bunuh diri. Bayangkan, jika orang tersebut
masih hidup, tentunya akan menyebabkan berbagai aturan kacau balau, ilmu
pengetahuan menjadi berantakan, dan mungkin, akan ada ribuan orang yang mencoba
minum baygon sebagai sarapan pagi….heu heu heu.
Kasus
kecelakaan mobil atau motor karena ban pecah, tabrakan, rem blong, semuanya
mengikuti aturan yang ada. Ban pecah, bisa terjadi karena tertusuk paku, atau
tekanan udaranya kurang, atau umur bannya sudah tua, jadi bukan Allah yang
memecahkannya, aturan Allah lah yang membuat hal itu terjadi. Kasus kecelakaan
lainnya, seperti tabrakan kereta api, pesawat jatuh, kapal tenggelam, semuanya
pasti ada sebab nya, dan biasanya karena adanya sunnatullah yang dilanggar.
Tapi dari situ, kita seolah-olah ditegur oleh Allah agar melakukan segala
sesuatu sesuai dengan aturan dan ukuran yang telah ditetapkan.
Khusus
untuk urusan Rezeki dan Jodoh, saya agak kesulitan juga menjelaskannya, karena
memang untuk kasus-kasus ini sering terjadi hal-hal yang agak “aneh”. Bukan
tidak masuk akal, hanya saja pada beberapa kasus cenderung keluar dari
aturan-aturan yang ada. Selain itu juga karena adanya persinggungan dengan
“takdir” orang lain. Tapi, sebagian besar tetap terikat Sunnatullah yang sudah
ada.
Dalam
urusan Rezeki, Islam memerintahkan untuk bekerja keras. Ingin kaya, ya bekerja
keras. Ingin urusan Rezeki lancar, carilah jalan masuknya rezeki yang baik.
Karenanya, biasanya, urusan Rezeki ini berbanding lurus dengan besarnya Usaha,
apa yang dikerjakan, dan pada siapa kita bekerja. Jadi, tidak bisa kita
mengeluh, “Sudah kerja banting tulang, tapi masih kayak gini-gini aja
(miskin)…”. Pertanyaannya adalah, apa yang dikerjakan ? Di mana bekerjanya? dan
kerja pada siapa ? Kalau kerja keras siang malam, tapi hanya sebagai penarik
becak, wajar saja kalau tidak kaya, karena memang pintu nya kecil. Kalau
sebagai karyawan, wajar saja gajinya pas-pasan, karena besarnya gaji kita juga
ditentukan oleh perusahaan. Tapi, kalau jadi seorang pembicara seminar, wajar
saja bayarannya besar. Karenanya, urusan Rezeki sangat berhubungan dengan orang
lain juga. Tapi, dunia ini membuktikan bahwa orang-orang yang sukses secara
finansial adalah orang-orang yang tahu bagaimana dia harus bekerja, tahu apa
yang harus dikerjakan, dan tahu pada siapa dia harus bekerja. Tidak asal,
“pokoknya gua kerja”. Dan untuk mencapai ke level itu, yang paling dominan
adalah kerja keras dan pengetahuan tentang strategi mencari rezeki. Karenanya,
agar rezeki menjadi lancar, kita pun harus mengkondisikan diri kita pada
situasi yang memang memungkinkan kelancaran rezeki tersebut. Tidak bisa hanya
tidur dan diam, lalu berkata, “kalau udah rezeki mah pasti datang sendiri…”.
Karena
itu, keadaan finansial kita sekarang merupakan hasil dari kerja kita diwaktu
yang lalu. Kalau misalkan kita kerja selama ini tidak kaya-kaya juga, carilah
tempat yang lain, atau pekerjaan yang lain. Tidak mungkin hanya diam saja di
tempat tersebut. Kalau misalkan sampai saatnya mati belum kaya juga, setidaknya
kita sudah berusaha untuk mencari kualitas hidup yang lebih baik.
Meksipun
ada juga kasus-kasus datangnya Rezeki dari arah yang “tidak bisa diduga”, tapi
biasanya, hal tersebut juga terjadi dari usaha yang kita lakukan sebelumnya.
Misalnya, kita sering menolong orang lain, atau berbuat baik kepada orang lain.
Sebagai rasa terima kasih, maka orang yang ditolong tersebut memberikan uang
atau rezeki lainnya kepada kita. Itu pun, pada dasarnya, akibat usaha kita
juga. Jarang sekali ada orang yang kaya akibat nemu duit 1 milyar di jalan.
Kalau warisan, itu lain lagi, biasanya warisan tersebut merupakan hasil dari
kerja keras orang yang mewariskannya. Penerima waris hanya menerima hasilnya
saja.
Nah,
untuk urusan jodoh, memang “sepenuhnya” karena keputusan Allah. Biasanya, untuk
kasus jodoh ini, campur tangan Allah dirasakan sangat besar. Karena, kadang,
sebesar apa pun usaha yang kita lakukan, kalau memang orang yang kita incar
tidak suka, kita tidak bisa berbuat apa-apa. Karena, urusan hati ini, hanya
Allah saja yang bisa membolak-balikkannya, tentu saja dengan caraNya yang
terkadang tidak bisa kita mengerti. Tapi, tetap saja, orang-orang yang
berikhtiar lebih keras, cenderung lebih cepat mendapatkan jodohnya daripada
orang-orang yang menunggu datangnya jodoh. Karenanya, kita pun harus
introspeksi diri, seberapa besar usaha kita untuk mendapatkan jodoh tersebut…
Lalu,
apa fungsinya Do’a ? Nah, Do’a adalah harapan terhadap kondisi ideal yang kita
inginkan dan kita minta kepada Allah. Salah satu alasan mengapa Do’a tidak
langsung dikabulkan adalah karena Allah lebih mengetahui kondisi kita yang
sebenarnya daripada kita sendiri. Karenanya, agar Do’a kita terkabul, sering
kali Allah menyiapkan kondisi kita terlebih dahulu. Caranya, mungkin melalui kemantapan
hati ketika mengambil suatu keputusan, atau rasa gelisah ketika akan melakukan
sesuatu yang salah, yang jelas, bentuk pengabulan do’a ini sangat jarang sekali
yang langsung. Misalkan, kita ingin menjadi orang yang sholeh, kemudian kita
berusaha untuk mencari lingkungan yang baik agar kita bisa menjadi sholeh. Nah,
dalam pencarian itulah, biasanya Allah menolong kita, misalnya dengan
memberikan rasa tenang ketika kita bertemu orang-orang yang sholeh, atau ketika
berada di lingkungan tersebut, sehingga kita merasa betah berada disana, dan
pada akhirnya, karena sering bergaul, pelan-pelan kita pun menjadi orang yang
sholeh. Tidak ujug-ujug jadi sholeh, bisa hancur dunia persilatan. Allah hanya
memberikan tuntunan, melalui sinyal-sinyal yang dia berikan, keputusan tetap
ada pada kita. Jadi, Allah tidak memperlakukan kita seperti bidak catur…”Kamu,
ke sini aja ya…? biar ntar ke neraka….” , “Nah, kamu kesana aja…supaya masuk
surga..”…Saya kira tidak begitu. Hal tersebut tentu saja tidak adil, percuma
saja kita hidup kalau misalkan Allah sudah menentukan “Kamu masuk Surga…”,
“Kamu masuk Neraka…”. Dan untuk apa ada penghisaban di akhirat kalau
jelas-jelas kita masuk neraka atau surga.
Dalam
buku HAMKA tersebut, dijelaskan bahwa salah satu kemunduran umat Islam, dan
menurut saya bangsa Indonesia juga, adalah menghindari Takdir, bukan
menghadapinya. Kalau ingin kaya, aturannya bekerja keras, bukan diam atau
malas-malasan, sementara kita lebih banyak bermalas-malasan, wajar kalau tidak
kaya. Orang yang menghadapi takdir adalah mereka yang bekerja keras, sedangkan
yang menghindari adalah mereka yang bermalas-malasan. Jadi,memang benar kalau
segala yang baik itu datangnya dari Allah, karena Dia sudah menentukan segala
sesuatunya dengan baik, kalau kita mengikuti dan memahami aturan-aturan yang
ada, kita akan menemukan takdir yang baik. Sementara segala macam bencana,
kecelakaan pada dasarnya memang hasil perbuatan dan kelalaian manusia juga.
Contoh, banjir bandang, logikanya, banjir tersebut tidak perlu terjadi,jika hutan-hutan
yang ada mampu menahan dan menyerap air tersebut. Tapi, karena hutan tersebut
gundul, mengalirlah air tersebut tanpa hambatan, terjadilah banjir bandang.
Siapakah yang menggundulinya ? Manusia juga. Jadi, bentuk “teguran” yang
terjadi, biasanya sesuai atau akibat dari apa yang dilakukan oleh manusia.
Fenomena-fenomena
alam yang terjadi juga, pada dasarnya adalah sunnatullah agar alam semesta ini
tetap stabil. Gempa Bumi, letusan gunung merapi, dan lain-lain. Hanya saja,
mungkin, pada saat itu Allah benar-benar “turun tangan” agar manusia tidak
sombong dan lalai. Contoh pada kasus Tsunami di Aceh, mungkin yang terjadi pada
saat itu bukan hanya semata-mata fenomena alam biasa, tapi mungkin memang Allah
memberikan teguran secara langsung. Meskipun, secara ilmiah, masih bisa
dijelaskan.
Intinya,
campur tangan Allah di dunia ini, “diwakili” oleh ketentuan yang sudah Dia
gariskan. Tidak turun tangan langsung seperti mengatur bidak-bidak catur. Dalam
kehidupan kita, kita tidak bisa lepas dari aturan-aturan (ketentuan) tersebut.
Bagaimanapun jalan kita, kita terikat oleh ketentuan tersebut. Namun, kita pun
dibekali akal untuk memahami aturan-aturan tersebut, sehingga ketika kita
memutuskan untuk melakukan sesuatu, kita tidak bertindak bodoh dan celaka karena
melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan ketentuan. Namun, terkadang, dalam
beberapa hal, Allah benar-benar mengambil alih dan “menyentil” kehidupan kita
dengan caranya yang tidak bisa kita pahami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar