Ternyata
tidak sedikit umat Kristen yang tidak, atau belum, memahami konsep ketuhanan
dalam Islam masih "terperangkap" dalam ruang berfikir sempit yang
mengira bahwa Allah (atau eksistensi-Nya) yang sering "digambarkan"
oleh umat Muslim dengan sebutan "DZAT" adalah sama dengan berbagai
dzat yang diciptakan oleh Allah sendiri.
Sebagian
dari mereka memang benar-benar bertanya, namun sebagian lagi menjadikannya
sebagai olok-olok, bahkan ada yang menuntut untuk "diperlihatkan"
wujud Allah sebagai bukti bahwa Allah yang disembah oleh umat Islam itu ada!
Meski
kaget, tapi kita tentunya tidak boleh serta merta menyalahkan mereka, sebab
semua itu adalah akibat dari ajaran Kristen yang selama hidupnya membatasi
mereka untuk menemukan hakikat Tuhan dengan menggunakan akal budinya
sendiri-sendiri. Tidak sama denga umat Muslim, pengenalan mereka kepada Tuhan
adalah urusan gereja, sedangkan jemaat cukup mengimani saja.
Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman:
”Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan
kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka." (QS. Ali Imran[3]:190-191)
Katakanlah:
“Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda
kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang
tidak beriman”.
(QS. Yunus[10]:101)
“Dan
Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa
hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah
orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka.” (Q.S. Shaad[38]:27)
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
”Berfikirlah
tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-sekali engkau berfikir tentang
Dzat Allah ”
[Hadits hasan, Silsilah al Ahaadiits ash Shahiihah]
Kata
dzat yang disandarkan pada Allah kita jumpai pada sabda Nabi saw, “Tafakkaruu
fi khalkillah walaa tafakkarua fi dzatihi” atau "Berpikirlah kamu tentang
ciptaan Allah, tapi jangan berpikir mengenai Dzat-Nya." (atau dzat
Sang Pencipta).
Perhatikanlah
Firman Allah subhanahu wata’ala ini:
"Dan
tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." (QS. Al-Ikhlas[112]:4)
”Tidak sesuatu pun yang serupa dengan Dia (Allah), dan Dia Maha Mendengar, Maha
Melihat.” (QS.
As-Syuuraa[26]:11)
"Dia
tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang
kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-An'Aam[6]:103)
Dengan
demikian, maka setiap kali kita menyebut Dzat Allah, tidak berarti bahwa dzat
yang dimaksud adalah dzat yang sama dengan berbagai dzat ciptaan-Nya sendiri
seperti zat cair, zat padat, zat gas, atau zat-zat lain yang menyerupai itu.
Sama hal nya dengan ketika kita berkata bahwa Allah Maha Mendengar. Ini juga
tidak bisa diartikan sesederhana sebagaimana makhluk ciptaan-Nya mendengar
dengan bantuan panca indera telinga.
Perhatikanlah
pula Firman Allah subhanahu wata’ala ini:
"Allah
menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur'an dan As
Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi
hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya
orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran dari firman
Allah."
(QS. Al-Baqarah[2]:269)
"Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal." (QS. Ali-Imran[3]:190)
Jika
dalam tiga firman sebelumnya Allah menyiratkan bahwa mustahil panca indera
manusia akan mampu mencapai eksistensi-Nya, maka pada dua firman berikutnya
(ada puluhan banyaknya yang serupa), Allah menyiratkan kepada kita bahwa
manusia, bila mau merendah dan berfikir, niscaya akan mampu mencapai
eksistensi-Nya melalui perantara akal.
Rasulullah
saw berpesan, “Tafakkaruu fi khalkillah walaa tafakkarua fi dzatihi”
Sabda
beliau ini menyiratkan bahwa berfikir tentang ciptaan Allah, walau
bagaimanapun, akan menyadarkan kita bahwa Allah itu ada, dan eksistensi-Nya
sangat nyata. Namun Rasulullah saw juga mengingatkan; cukuplah sampai di situ
saja! Jangan coba-coba untuk berpikir lebih jauh, misalnya tentang bagaimana
kira-kira Dzat Allah, atau sosok Allah itu sendiri.
Mengapa
demikian? Pertama, karena Allah sendiri sudah mengingatkan kita (Lihat lagi QS.
Al-An'Aam [6] :103 di atas) dan Rasulullah saw juga sudah tegas-tegas
melarangnya (perhatikan sabda beliau tadi, begitu juga makna yang terkandung
dalam QS. Yunus[10]:101 di atas).
Tentang
larangan ini tentu Rasulullah saw adalah manusia yang paling mengetahui apa
alasannya. Sebab beliau sendiri pernah "Bertemu" dengan
Allah SWT ketika melakukan perjalanan malam yang kita kenal dengan sebutan
Isra' Mi'raj itu. Ini sekaligus juga menjelaskan bahwa prasangka sebagian umat
Kristen yang mengatakan bahwa Rasulullah saw "tidak tahu" bagaimana
sesungguhnya dzat Allah itu adalah pendapat yang sangat keliru!
Sedangkan
alasan yang kedua adalah, walau bagaimanapun kita paksakan, pada kenyataannya
seluruh kemampuan panca indera kita yang sangat terbatas ini pasti tidak akan
pernah mampu melihat dzat atau wujud Allah!
Sifat
Allah adalah mutlak (absolute). Tidak mungkin dibatasi oleh apa pun, apalagi
oleh alam pikiran manusia. Sementara sifat manusia sendiri serba sangat
terbatas. Untuk membuktikan betapa kecilnya kita dibandingkan dengan betapa
Maha Besarnya Allah, salahsatu contoh yang saya pikir sangat mudah untuk
difahami misalnya adalah begini:
Kita
yang sangat kecil ini hidup, berdiri, berjalan, tidur dsb diatas permukaan bumi
yang kita yakini betul bahwa wujudnya ada dan nyata. Tapi jika kemudian ada
orang yang bertanya, "Dapatkah anda melihat wujud bumi ini seutuhnya dari
tempat anda sekarang berdiri?" Kira-kira apa jawaban anda?
Padahal
bumi hanya salah satu dari bermilyar-milyar ciptaan Allah yang bertebaran di
seluruh jagad raya ini. Dapatkah kita, dari tempat berdiri sekarang ini
misalnya, melihat benda-benda langit yang konon katanya ada yang ukurannya
berlipat-lipat kali lebih besar dari bumi?
Jika
anda katakan "Dapat", maka dapat pula dipastikan bahwa anda pasti sedang
berdusta. Sedangkan jika anda katakan "Tidak," dan memang
demikianlah adanya, lalu bagaimana mungkin kita coba mengandalkan panca indera
yang sangat terbatas ini untuk melihat Dzat Allah yang sejatinya adalah Sang
Pencipta seluruh benda, atau wujud-wujud lain di alam semesta yang jelas-jelas
tidak mampu kita lihat itu?
Jadi,
gampangnya begini: sedangkan untuk melihat ciptaan-Nya saja kita sudah tidak
sanggup, apalagi untuk melihat sang Penciptanya sendiri?
Maka
pengetahuan kita tentang Dzat Allah dengan sendirinya tidak akan mungkin
melampaui pengetahuan yang sudah diajarkan oleh Allah sendiri kepada kita
seperti misalnya bagaimana sifat-sifat-Nya, bagaimana harus menyebut nama-Nya,
apa yang dikehendaki-Nya, apa yang tidak disukai-Nya, dan lain-lain tentang
Allah sebagaimana yang sejak awal peradaban manusia telah diajarkan oleh para
Nabi dan Rasul-Nya kepada umat manusia. Baik itu melalui wahyu Allah yang
diturunkan langsung kepada mereka, maupun yang diturunkan melalui kitab-kitab
wahyu Allah seperti Taurat, Zabur, Injil dan Al-Qur'an.
Adapun
bagi umat Muslim, tentu saja pengenalan kepada Allah menjadi seperti apa yang
diajarkan di dalam Al-Qur'an dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad saw. Dan dari
sinilah umat Muslim menjadi faham betul bahwa konsep Ketuhanan Allah dalam Islam
sudah sangat mapan, sehingga tidak ada lagi yang perlu dipermasalahkan,
terutama bagi orang-orang yang berpikir dengan menggunakan akalnya secara
paripurna.
Jadi,
jika kita tetap memaksakan diri juga untuk “mewujudkan” sosok Allah
dalam pikiran kita, maka seperti sudah dijelaskan di atas, bagaimanapun bentuk
pewujudan itu, PASTI SALAH! Sebab, bukankah selama ini pengetahuan kita tentang
bentuk atau wujud selalu berdasarkan pada persepsi yang bersandar pada segala
sesuatu yang pernah kita lihat? Sedangkan dari seluruh ajaran Nabi dan Rasul
sebelum Nabi Muhammad saw (termasuk Nabi Isa) sampai kepada Nabi Muhammad
sendiri tentang wujud Allah, kita belajar bahwa semuanya bermuara pada satu
persamaan yang hakiki yaitu: Allah sama sekali tidak serupa dengan apa pun yang
dapat dibayangkan oleh akal dan dicapai oleh panca indera manusia. Allah kita
MAHA GHAIB!
Perhatikan
juga ini:
"Bukankah
Allah bersemayam di langit yang tinggi? Lihatlah bintang-bintang yang
tertinggi, betapa tingginya!" (Ayub 22:12)
"Bapa
yang mengutus Aku, Dialah yang bersaksi tentang Aku. Kamu tidak pernah
mendengar suara-Nya, rupa-Nyapun tidak pernah kamu lihat," (Yohanes 5:37)
"Lalu
Ia menjawab: "Kepadamu diberi karunia untuk mengetahui rahasia Kerajaan
Allah, tetapi kepada orang-orang lain hal itu diberitakan dalam perumpamaan,
supaya sekalipun memandang, mereka tidak melihat dan sekalipun mendengar,
mereka tidak mengerti." (Lukas 8:10)
Itu
sebabnya mengapa ketika ajaran para Nabi dan Rasul Allah sebelum Nabi Muhammad
saw tentang eksistensi Allah "dibenturkan" pada konsep Trinitas yang
TIDAK PERNAH diajarkan oleh Nabi Isa as (Yesus) sendiri, maka turunlah
peringatan Allah melalui firman-Nya di dalam Al-Qur'an seperti berikut ini:
"Wahai
Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu
mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, 'Isa
putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya
yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka
berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan:
"(Tuhan itu) tiga", berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik
bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai
anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah
menjadi Pemelihara." (QS. An-Nisaa[4]:171)
Semoga bermanfaat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar